Selasa, 29 Desember 2015
Home »
» RUNTUHNYA TEORI EVOLUSI DALAM 20 PERTANYAAN
RUNTUHNYA TEORI EVOLUSI DALAM 20 PERTANYAAN
Teori evolusi sudah berusia 150 tahun, dan juga telah
berpengaruh besar pada pandangan hidup yang dianut masyarakat. Teori ini menyatakan
sebuah dusta, yaitu bahwa manusia muncul ke dunia ini sebagai akibat faktor
kebetulan, dan bahwa manusia adalah suatu “spesies binatang”.
Lebih jauh lagi, teori ini mengajarkan
bahwa satu-satunya hukum yang berlaku adalah usaha makhluk hidup, yang hanya
mementingkan diri sendiri, untuk bertahan hidup. Pengaruh gagasan ini tampak di
abad kesembilan belas dan kedua puluh: manusia semakin egois, akhlak masyarakat
yang memburuk, semakin merebaknya sikap mementingkan diri sendiri, sikap tidak
berperikemanusiaan, dan kekerasan, tumbuh berkembangnya ideologi berdarah dan
diktator seperti fasisme dan komunisme, krisis individual dan sosial karena
manusia semakin jauh dari akhlak agama, …
Berbagai akibat sosial yang disebabkan oleh teori evolusi
telah dibahas dalam buku Harun Yahya lainnya. (Lihat karya Harun Yahya The Disasters Darwinism Brought to Humanity,
Communism
Lies in Ambush, The Black Magic of
Darwinism, serta The Religion of
Darwinism). Dalam buku-buku tersebut diungkapkan bahwa teori ini, yang
disebut-sebut sebagai “ilmiah”, sebenarnya sama sekali tidak memiliki dasar
ilmiah; bahwa teori tersebut hanyalah sebuah skenario yang terus dipaksakan
walaupun dihadapkan kepada semua fakta yang berbicara sebaliknya; dan isi teori
ini tak lain takhayul belaka.
Bagi mereka yang ingin
memahami seperti apa sesungguhnya teori evolusi dan “pandangan hidup”
Darwinisme, yang selama 150 tahun terakhir ini secara sistematis telah menyeret
dunia ke
jurang kekerasan, kebiadaban, kekejaman,
dan pertikaian, sangat dianjurkan untuk membaca bukubuku tersebut.
Buku ini akan membahas ketidakabsahan teori evolusi pada
tingkat umum. Di sini dikupas pernyataan evolusionis tentang beberapa hal,
menggunakan beberapa pertanyaan yang sering diajukan orang, yang belum
sepenuhnya dipahami. Jawaban yang tertera dalam buku ini secara ilmiah
diperinci lebih jauh dalam buku lain karya penulis seperti The Evolution Deceit, dan Darwinism
Refuted.
1
MENGAPA
TEORI EVOLUSI TIDAK ABSAH SECARA ILMIAH?
Teori evolusi menyatakan bahwa makhluk hidup di muka bumi
tercipta sebagai akibat dari peristiwa kebetulan dan muncul dengan sendirinya
dari kondisi alamiah. Teori ini bukanlah hukum ilmiah maupun fakta yang sudah
terbukti. Di balik topeng ilmiahnya, teori ini adalah pandangan hidup
materialis yang dijejalkan ke dalam masyarakat oleh kaum Darwinis. Dasar-dasar
teori ini – yang telah digugurkan oleh bukti-bukti ilmiah di segala bidang –
adalah cara-cara mempengaruhi dan propaganda, yang terdiri atas tipuan,
kepalsuan, kontradiksi, kecurangan, dan ilusi permainan sulap.
Teori evolusi diajukan sebagai hipotesa rekaan di tengah
konteks pemahaman ilmiah abad kesembilan belas yang masih terbelakang, yang
hingga hari ini belum pernah didukung oleh percobaan atau penemuan ilmiah apa
pun. Sebaliknya, semua metode yang bertujuan membuktikan keabsahan teori ini
justru berakhir dengan pembuktian ketidakabsahannya.
Namun, bahkan sekarang, masih banyak orang beranggapan
bahwa evolusi adalah fakta yang sudah terbukti kebenarannya – layaknya gaya
tarik bumi atau hukum benda terapung. Sebab, seperti telah dinyatakan di muka,
teori evolusi sesungguhnya sangatlah berbeda dari yang diterima masyarakat
selama ini. Oleh sebab itu, pada umumnya orang tidak tahu betapa buruknya
landasan berpijak teori ini; betapa teori ini sudah digagalkan oleh bukti
ilmiah pada setiap langkahnya; dan betapa para evolusionis terus berupaya
menghidupkan teori evolusi, walaupun teori ini sudah “menghadapi ajalnya”. Para
evolusionis hanya mengandalkan hipotesa yang tak terbukti, pengamatan yang
penuh prasangka dan tak sesuai kenyataan, gambar-gambar khayal, cara-cara yang
mampu mempengaruhi kejiwaan, dusta yang tak terhitung jumlahnya, serta
teknik-teknik sulap.
Kini, berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti paleontologi
(cabang geologi yang mengkaji kehidupan pra-sejarah melalui fosil – penerj.),
genetika, biokimia dan biologi molekuler telah membuktikan bahwa tak mungkin
makhluk hidup tercipta akibat kebetulan atau muncul dengan sendirinya dari
kondisi alamiah. Sel hidup, demikian dunia ilmiah sepakat, adalah struktur
paling kompleks yang pernah ditemukan manusia. Ilmu pengetahuan modern
mengungkapkan bahwa satu sel hidup saja memiliki struktur dan berbagai sistem
rumit dan saling terkait, yang jauh lebih kompleks daripada sebuah kota besar.
Struktur kompleks seperti ini hanya dapat berfungsi apabila masing-masing
bagian penyusunnya muncul secara bersamaan dan dalam keadaan sudah berfungsi
sepenuhnya. Jika tidak, struktur tersebut tidak akan berguna, dan semakin lama
akan rusak dan musnah. Tak mungkin semua bagian penyusun sel itu berkembang
secara kebetulan dalam jutaan tahun, seperti pernyataan teori evolusi. Oleh
sebab itulah, rancangan yang begitu kompleks dari sebuah sel saja, sudah
jelas-jelas menunjukkan bahwa Tuhan-lah yang menciptakan makhluk hidup.
(Keterangan lebih rinci dapat dibaca dalam buku Harun Yahya, Miracle in the Cell).
Akan tetapi, para pembela filsafat materialis tidak
bersedia menerima fakta penciptaan karena beragam alasan ideologis. Hal ini
disebabkan kemunculan dan perkembangan masyarakat yang hidup dengan
berpedomankan akhlak mulia yang diajarkan agama yang sejati kepada ummat
manusia melalui perintah dan larangan Tuhan bukanlah menjadi harapan kaum
materialis ini. Masyarakat yang tumbuh tanpa nilai moral dan spiritual lebih
disukai kalangan ini, sebab mereka dapat memanipulasi masyarakat yang demikian
demi keuntungan duniawi mereka sendiri. Itulah sebabnya, kaum materialis
mencoba terus memaksakan teori evolusi – yang berisi dusta bahwa manusia tidak
diciptakan, tetapi muncul atas faktor kebetulan dan berevolusi dari jenis
binatang – serta, dengan segala cara, berupaya mempertahankan teori evolusi
agar tetap hidup. Kaum materialis meninggalkan akal sehat dan nalar, serta
mempertahankan omong-kosong ini di setiap kesempatan, walaupun bukti ilmiah
dengan jelas telah menghancurkan teori evolusi dan menegaskan fakta penciptaan.
Sebenarnya telah dibuktikan bahwa adalah mustahil apabila
sel hidup yang pertama – atau bahkan satu saja dari berjuta-juta molekul
protein dalam sel itu – dapat muncul atas faktor kebetulan. Ini bukan saja
ditunjukkan melalui berbagai percobaan dan pengamatan, melainkan juga melalui
perhitungan probabilitas secara matematis. Dengan kata lain, evolusi gugur di
langkah pertama: yaitu dalam menjelaskan kemunculan sel hidup yang pertama.
Sel, satuan terkecil makhluk hidup, tidak mungkin muncul
secara kebetulan dalam kondisi primitif tanpa kendali di saat Bumi masih muda –
seperti yang dipaksakan kaum evolusionis kepada kita agar percaya. Jangankan
dalam kondisi demikian, dalam laboratorium tercanggih di abad ini sekali pun,
hal itu mustahil terjadi. Asam-asam amino, yaitu satuan pembentuk berbagai
protein penyusun sel hidup, tak mampu dengan sendirinya membentuk
organel-organel di dalam sel seperti mitokondria, ribosom, membran sel, ataupun
retikulum endoplasma – apalagi membentuk sebuah sel yang utuh. Oleh sebab itu,
pernyataan bahwa sel pertama terbentuk secara kebetulan melalui proses evolusi,
hanyalah hasil rekaan yang sepenuhnya didasarkan pada daya khayal.
Sel hidup, yang sampai kini masih mengandung banyak
rahasia, adalah satu di antara sekian banyak kesulitan utama yang dihadapi
teori evolusi.
Dilema mengkhawatirkan lainnya (dari sudut pandang
evolusionis) adalah molekul DNA yang terdapat di dalam inti sel hidup, sebuah
sistem kode yang terdiri dari 3,5 miliar satuan berisi semua rincian makhluk
hidup. DNA pertama kali ditemukan melalui kristalografi sinar-X pada akhir
tahun 1940-an dan awal 1950-an, dan merupakan sebuah molekul raksasa dengan
rancangan yang luar biasa. Selama bertahun-tahun, Francis Crick, pemenang
hadiah Nobel, meyakini teori evolusi molekuler. Namun pada akhirnya, ia sendiri
pun harus mengakui bahwa molekul yang begitu rumit tak mungkin muncul dengan
sendirinya secara tiba-tiba karena kebetulan, sebagai hasil dari sebuah proses
evolusi:
Seseorang yang jujur, dengan pemahaman keilmuan yang ada
sekarang, saat ini hanya dapat menyatakan bahwa asal mula kehidupan nampak
bagaikan sebuah keajaiban.1
Evolusionis berkebangsaan Turki, Profesor Ali Demirsoy,
terpaksa memberikan pengakuan sebagai berikut:
Sebenarnya, kemungkinan terbentuknya sebuah protein dan
asam nukleat (DNA-RNA) adalah di luar batas perhitungan. Lebih jauh lagi,
peluang munculnya suatu rantai protein adalah sedemikian kecilnya sehingga bisa
disebut astronomis (tidak mungkin). 2
Homer Jacobson, Profesor Emeritus di bidang Ilmu Kimia,
menyatakan pengakuan tentang kemustahilan munculnya kehidupan akibat faktor
kebetulan, sebagai berikut:
Petunjuk untuk reproduksi rencana, untuk energi dan untuk
pengambilan bagian-bagian dari lingkungan sekitar, untuk urutan pertumbuhan,
dan untuk mekanisme efektor yang menerjemahkan instruksi menjadi pertumbuhan –
semua itu harus ada secara serentak pada saat tersebut [saat awal munculnya
kehidupan]. Kemungkinan kombinasi semua peristiwa itu secara kebetulan
tampaknya sungguh luar biasa kecil … 3
Catatan fosil pun menyajikan fakta lain, yang menjadi
kekalahan telak bagi teori evolusi. Dari seluruh fosil yang telah ditemukan
selama ini, tidak ada satu pun bentuk antara (bentuk peralihan) yang ditemukan,
yang seharusnya ada jika makhluk hidup berevolusi tahap demi tahap dari spesies
yang sederhana menjadi spesies yang lebih kompleks, seperti yang dinyatakan
oleh teori evolusi. Jika makhluk seperti itu ada, seharusnya jumlahnya banyak
sekali, berjuta-juta, bahkan bermiliarmiliar. Lebih dari itu, sisa dan kerangka
makhluk semacam itu haruslah ada dalam catatan fosil. Kalau bentuk-bentuk
antara ini benar-benar ada, jumlahnya akan melebihi jumlah spesies binatang yang
kita kenal di masa kini. Seluruh dunia akan penuh dengan fosil makhluk
tersebut. Para evolusionis mencari bentuk-bentuk antara ini di semua penelitian
fosil yang menggebu-gebu, yang telah dilangsungkan sejak abad kesembilan belas.
Akan tetapi, sama sekali tidak ditemukan jejakjejak makhluk perantara ini,
meskipun pencarian telah dilakukan dengan penuh semangat selama 150 tahun.
Singkat kata, catatan fosil menunjukkan bahwa makhluk hidup
muncul secara tiba-tiba dan dalam wujud sempurna, bukan melalui sebuah proses
dari bentuk primitif menuju tahap yang lebih maju, seperti yang dinyatakan
teori evolusi.
Kaum evolusionis telah berusaha keras untuk membuktikan
kebenaran teori mereka. Namun nyatanya, dengan tangannya sendiri, mereka justru
telah membuktikan bahwa proses evolusi adalah mustahil. Kesimpulannya, ilmu
pengetahuan modern mengungkapkan fakta yang tak mungkin disangkal berikut ini: Kemunculan makhluk hidup bukanlah akibat
faktor kebetulan yang buta, melainkan hasil ciptaan Tuhan.
2
BAGAIMANA
KERUNTUHAN TEORI EVOLUSI MEMBUKTIKAN KEBENARAN PENCIPTAAN?
Apabila kita bertanya bagaimana makhluk hidup muncul di
muka Bumi, maka terdapat dua jawaban yang berbeda:
Pertama, makhluk hidup muncul melalui proses evolusi.
Menurut pernyataan teori evolusi, kehidupan dimulai dengan sel yang pertama.
Sel pertama ini muncul karena faktor kebetulan, atau karena faktor “pembentukan
mandiri”, yang secara hipotetis disebut-sebut sebagai suatu hukum alam.
Berdasarkan faktor kebetulan dan hukum alam ini pula, sel hidup ini lalu berkembang
dan berevolusi, dan dengan mengambil bentuk-bentuk yang berbeda, menghasilkan
berjuta-juta spesies makhluk hidup di Bumi.
Jawaban kedua adalah “Penciptaan”. Semua makhluk hidup ada
karena diciptakan oleh
Pencipta yang cerdas. Ketika kehidupan beserta
berjuta-juta bentuknya – yang tak mungkin muncul secara kebetulan itu – pertama
kali diciptakan, makhluk hidup telah memiliki rancangan yang lengkap, sempurna
dan unggul, sama seperti yang dimilikinya sekarang. Ini dibuktikan secara jelas
dan nyata, yang mana makhluk hidup paling sederhana sekali pun telah memiliki
struktur dan sistem kompleks, yang mustahil tercipta sebagai akibat dari faktor
kebetulan dan kondisi alam.
Di luar kedua alternatif ini, tidak ada pernyataan atau
hipotesa lainnya tentang asal muasal makhluk hidup. Menurut peraturan logika,
jika satu jawaban untuk sebuah pertanyaan – yang hanya memiliki dua alternatif
jawaban – terbukti salah, jawaban yang kedua pasti benar. Ini merupakan salah
satu kaidah paling mendasar dalam logika, disebut sebagai inferensi disjunktif
(modus tollendo ponens).
Dengan kata lain, jika terbukti bahwa makhluk hidup di Bumi
tidak berevolusi melalui kebetulan, seperti pernyataan para evolusionis,
jelaslah bahwa makhluk hidup adalah karya sang Pencipta. Para ilmuwan pendukung
teori evolusi sepakat akan tidak adanya alternatif ketiga. Salah satunya,
Douglas Futuyma, menyatakan:
Organisme hanya mungkin muncul di muka bumi dalam wujud
telah terbentuk sempurna, atau tidak. Jika tidak, berarti organisme telah
terbentuk dari spesies pendahulunya melalui suatu proses perubahan. Jika
organisme muncul dalam wujud telah terbentuk sempurna, pastilah organisme itu
diciptakan oleh suatu kecerdasan mahakuasa. 4
Catatan fosil memberikan jawaban kepada Futuyma yang
evolusionis itu. Paleontologi menunjukkan bahwa semua jenis makhluk hidup
muncul di Bumi pada saat berlainan, sekaligus dalam sekejap dan dalam wujud
yang telah sempurna terbentuk.
Semua hasil penggalian dan penelitian
selama seratus tahun atau lebih, menunjukkan bahwa – bertentangan dengan
pendapat kaum evolusionis– makhluk hidup muncul secara tiba-tiba dalam wujud
sempurna tanpa cacat, atau dengan kata lain makhluk hidup telah “diciptakan”.
Bakteri, protozoa, cacing, moluska, dan makhluk laut tak bertulang belakang lainnya,
artropoda, ikan, amfibi, reptil, unggas, dan mamalia, semua muncul seketika,
lengkap dengan sistem dan organ yang kompleks. Tidak ada fosil yang dapat
disebut sebagai makhluk transisi atau tahap perantara. Paleontologi menampilkan
pesan yang sama dengan cabang ilmu lainnya: Makhluk hidup tidak berevolusi,
tetapi diciptakan. Sebagai hasilnya, pada saat kaum evolusionis mencoba
membuktikan teori mereka yang tidak berdasarkan fakta itu, mereka justru
membuktikan kebenaran penciptaan dengan tangan mereka sendiri.
Robert Carroll, seorang ahli paleontologi vertebrata dan
seorang evolusionis yang gigih, mengakui bahwa keinginan kaum Darwinis tidak
dipenuhi oleh penemuan di bidang fosil:
Meskipun, selama lebih dari seratus tahun sejak
meninggalnya Darwin telah dilangsungkan upaya pengumpulan yang intensif,
catatan fosil belum juga menghasilkan gambaran mata rantai transisi yang tak terhingga jumlahnya, seperti yang ia
harapkan. 5
Ledakan Zaman Kambrium sudah cukup untuk meruntuhkan teori
evolusi
Jenis makhluk hidup dibagi-bagi oleh para ahli biologi
menjadi kelompok-kelompok utama, seperti tumbuhan, hewan, jamur, dst. Kelompok
utama ini kemudian dibagi lagi menjadi filum (dari kata phylum atau phyla). Saat
menelaah berbagai filum ini, haruslah diingat bahwa setiap filum memiliki
struktur fisik yang amat berlainan. Hewan jenis Artropoda (serangga, laba-laba,
dan makhluk lainnya yang kakinya beruas-ruas), misalnya, adalah satu filum
tersendiri, dan semua hewan dalam filum ini memiliki struktur dasar fisik yang
sama. Filum Chordata meliputi hewan yang memiliki notochord atau sumsum tulang belakang (kolumna spinalis). Semua
hewan berukuran besar, seperti ikan, unggas, reptil, dan mamalia yang kita
kenal sehari-hari, tergolong ke dalam sub-filum Chordata yang disebut vertebrata.
Terdapat sekitar 35 filum hewan, termasuk Moluska, yang
meliputi hewan bertubuh lunak, seperti siput dan gurita, serta Nematoda, yang
mencakup cacing berukuran kecil. Ciri terpenting filum ini, seperti telah kita
sebutkan tadi, adalah terdapatnya ciri-ciri fisik yang amat berbeda. Kategori
di bawah filum memiliki rancangan tubuh yang serupa, tetapi satu filum amatlah
berbeda dari filum lainnya.
Jadi, bagaimanakah perbedaan-perbedaan ini timbul?
Pertama, mari kita tinjau hipotesa Darwinis. Seperti kita
ketahui, Darwinisme menyatakan bahwa makhluk hidup berkembang dari satu nenek
moyang yang sama, dan variasi timbul setelah melalui serentetan perubahan
kecil. Jika benar demikian, artinya makhluk hidup yang pertama haruslah
memiliki bentuk yang sama dan sederhana. Dan menurut teori ini pula, perbedaan
di antara, dan meningkatnya kerumitan makhluk hidup, harus terjadi secara
paralel seiring dengan waktu.
Menurut Darwinisme, kehidupan haruslah berupa sebatang
pohon, dengan sebuah akar bersama, yang bagian atasnya berkembang menjadi
cabang-cabang yang berbeda. Hipotesa ini terus-menerus ditekankan dalam
sumber-sumber Darwinis, di mana gambaran tentang “pohon silsilah kehidupan”
seringkali digunakan. Menurut konsep pohon ini, awalnya harus muncul satu filum,
lalu berbagai filum lain perlahan-lahan muncul, dengan perubahan-perubahan
kecil dan dalam tenggang waktu yang amat panjang.
Itulah pernyataan teori evolusi. Tetapi, benarkah itu
yang terjadi?
Sama sekali tidak. Sebaliknya, binatang sudah berwujud amat
kompleks dan saling berlainan sejak saat pertama kali muncul di Bumi. Semua filum binatang yang telah kita
ketahui muncul di saat yang sama, di tengah tenggang waktu geologis yang
dikenal sebagai Zaman Kambrium. Zaman Kambrium adalah periode waktu dalam
ilmu geologi, yang lamanya diperkirakan kurang-lebih 65 juta tahun, sekitar 570
hingga 505 juta tahun yang silam. Tetapi, kemunculan mendadak berbagai kelompok
utama hewan terjadi pada fase yang jauh lebih singkat di masa Zaman Kambrium
ini, yang sering disebut dengan “ledakan Kambrium ”. Stephen C. Meyer, P. A.
Nelson, dan Paul Chien, dalam sebuah artikel yang didasarkan pada pengkajian
literatur terperinci di tahun 2001, menyatakan “ledakan Kambrium terjadi dalam
sepenggal waktu geologis yang teramat sempit, yang lamanya tak lebih dari 5
juta tahun.” 6
Sebelum itu, tak ada sedikit pun catatan fosil tentang
makhluk hidup, selain yang bersel tunggal serta sedikit makhluk bersel majemuk
yang amat primitif. Semua filum hewan muncul serentak dalam wujud sempurna, dalam
tenggang waktu singkat Ledakan Kambrium (Lima juta tahun adalah amat singkat
dalam istilah geologi!)
Dalam bebatuan Kambrium ditemukan fosil-fasil dari
makhluk-makhluk yang amat berbeda, seperti siput, trilobita, spons, ubur-ubur,
bintang laut, kerang, dst. Kebanyakan makhluk pada lapisan ini memiliki sistem
yang rumit dan struktur yang maju, misalnya mata, insang, dan sistem sirkulasi,
yang persis sama dengan yang terdapat pada spesimen hewan di zaman modern.
Semua truktur ini sangatlah maju dan sangat berlainan satu dengan yang lain.
Richard Monastersky, seorang staf penulis jurnal Science News, menyatakan tentang ledakan
Kambrium, yang merupakan perangkap maut bagi teori evolusi:
Setengah miliar tahun silam, … beragam jenis hewan yang amat kompleks, yang kita lihat sekarang,
tiba-tiba muncul. Saat itu, tepat di awal Zaman Kambrium di Bumi, sekitar
550 juta tahun yang lalu, menandai ledakan evolusioner yang mengisi penuh
lautan dengan berbagai makhluk kompleks pertama di dunia. 7
Phillip Johnson, seorang profesor Universitas California di
Berkeley, yang juga salah seorang kritikus Darwinisme paling menonjol di dunia,
menjabarkan pertentangan antara Darwinisme dengan kebenaran paleontologis ini:
Teori Darwinisme meramalkan adanya sebuah “kerucut peningkatan
keragaman”, yang mana
organisme hidup pertama, atau spesies hewan
pertama, secara bertahap dan kontinyu menjadi beragam dan menciptakan tingkat
taksonomi yang lebih tinggi. Namun catatan fosil binatang lebih mirip kerucut
yang terbalik, yaitu banyak filum yang
berada di jenjang awal, dan setelah itu semakin berkurang. 8
Seperti diungkapkan Phillip Johnson, yang telah terjadi
bukanlah terbentuknya berbagai filum secara bertahap. Jauh daripada itu, semua
filum timbul serentak, dan bahkan ada yang punah dalam periode selanjutnya.
Munculnya makhluk hidup yang beragam dalam wujud sempurna dan seketika,
merupakan bukti penciptaan, seperti juga diakui oleh evolusionis Futuyma. Telah
kita saksikan, semua penemuan ilmiah yang ada telah menyatakan bahwa pernyataan
teori evolusi adalah salah, serta mengungkapkan kebenaran dari penciptaan.
3
BERAPAKAH
USIA UMMAT MANUSIA DI BUMI INI? MENGAPA INI BUKAN FAKTOR PENDUKUNG TEORI
EVOLUSI?
Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan kapan manusia
pertama kali muncul di Bumi, kita harus meninjau kembali catatan fosil. Catatan
ini menunjukkan bahwa umat manusia di bumi sudah berusia jutaan tahun. Penemuan
ini terdiri atas kerangka dan tengkorak kepala manusia, dan jejak peninggalan
berbagai bangsa yang hidup di zaman yang berbeda. Salah satu peninggalan
manusia tertua adalah “jejak kaki” yang ditemukan oleh ahli paleontologi
terkenal, Mary Leakey,
tahun 1977 di daerah
Laetoli, Tanzania.
Peninggalan ini amat menghebohkan dunia ilmiah. Menurut
riset, usia lapisan tempat jejak kaki ini ditemukan adalah 3,6 juta tahun.
Russell Tuttle, yang menyaksikan jejak kaki itu, menulis:
Jejak kaki itu mungkin berasal dari seorang Homo sapiens yang bertubuh kecil, tanpa
alas kaki… Ciri morfologis yang dapat dikenali pada kaki makhluk yang meninggalkan
jejak tersebut tak bisa dibedakan dengan kaki manusia modern. 9
Penelitian objektif atas jejak kaki itu mengungkapkan
pemilik kaki yang sebenarnya. Dua puluh buah tapak kaki itu, yang sudah menjadi
fosil, berasal dari manusia modern yang berusia 10 tahun, dan 27 buah tapak
kaki lainnya berasal dari manusia yang bahkan lebih muda. Kesimpulan ini
dihasilkan oleh ahli paleoantropologi terkenal seperti Don Johnson dan Tim
White, yang memeriksa tapak kaki penemuan Mary Leakey. White mengungkapkan
pikirannya:
Jangan keliru … tapak kaki itu seperti berasal dari manusia
modern. Jika tapak kaki itu tampak di pantai California masa kini, dan anak
berusia empat tahun ditanyai tentangnya, ia akan langsung menjawab bahwa ada
orang yang lewat di sana. Anak itu tak akan mampu membedakannya dengan ratusan
tapak kaki lainnya yang ada di pantai. Anda juga tak akan bisa. 10
Jejak-jejak kaki ini menyulut sebuah perdebatan penting di
kalangan evolusionis. Sebab, bila mereka menerima pendapat bahwa jejak kaki itu
berasal dari manusia, artinya khayalan evolusionis tentang proses peralihan
dari kera menuju manusia harus gugur. Akan tetapi, di titik ini, pola pikir
evolusionis yang dogmatis muncul lagi. Sekali lagi, para ilmuwan evolusionis
meninggalkan cara berpikir ilmiah demi membela praduga mereka. Menurut mereka,
jejak kaki di Laetoli itu berasal dari makhluk serupa kera. Russell Tuttle,
satu di antara para evolusionis yang mempertahankan pernyataan ini, menulis:
Kesimpulannya, jejak kaki berusia 3,5 juta tahun di situs G
Laetoli menyerupai jejak manusia modern yang tidak beralas kaki. Tidak ada
tanda bahwa hominid Laetoli adalah biped
(makhluk yang berjalan di atas dua kaki) yang lebih rendah daripada kita. Jika
jejak kaki G itu tidak demikian tua usianya, kita akan mengira bahwa makhluk
yang menghasilkannya adalah genus kita, Homo….
Yang pasti, kita akan mengesampingkan
anggapan bahwa jejak kaki Laetoli itu berasal dari jenis Lucy, Australopithecus afarensis. 11
Peninggalan manusia tertua lainnya adalah reruntuhan pondok
batu, yang ditemukan oleh Louis Leakey tahun 1970-an di daerah Olduvai Gorge.
Reruntuhan pondok itu berada pada lapisan berusia 1,7 juta tahun. Sudah
diketahui bahwa struktur bangunan seperti ini, serupa dengan yang masih ada di
Afrika masa kini, hanya mampu dihasilkan oleh Homo sapiens, atau dengan kata lain, manusia modern. Yang terungkap
dari reruntuhan ini adalah, manusia hidup satu zaman dengan makhluk yang
dianggap para evolusionis sebagai makhluk serupa kera, yang mereka anggap nenek
moyangnya.
Sebuah tulang rahang manusia berusia 2,3 juta tahun, yang
ditemukan di daerah Hadar di Ethiopia, amatlah penting untuk menunjukkan bahwa
manusia sudah ada di Bumi jauh lebih lama daripada yang diperkirakan para
evolusionis. 12
Salah satu fosil manusia tertua dan paling sempurna adalah
KNM-WT 1500, yang juga dikenal sebagai kerangka “Anak Turkana”. Fosil berusia
1,6 juta tahun tersebut digambarkan oleh
evolusionis Donald Johanson sebagai
berikut:
Dia tinggi kurus, bentuk tubuh dan proporsi tungkainya
menyerupai bangsa Afrika yang tinggal di sekitar katulistiwa zaman sekarang.
Walaupun masih muda, tungkai anak ini hampir sama dengan ukuran rata-rata
lelaki dewasa kulit putih di Amerika Utara. 13
Disimpulkan, itu adalah fosil seorang anak lelaki berusia
12 tahun, yang di masa dewasa akan mencapai tinggi 1,83 m. Alan Walker, ahli
paleoantropologi Amerika, berkata bahwa beliau ragu apakah “ahli patologi
berkemampuan standar akan mampu membedakan kerangka fosil itu dengan manusia
modern.” Tentang tengkorak kepala, Walker menulis bahwa beliau tertawa
melihatnya, karena “mirip betul dengan manusia Neanderthal.” 14
Satu fosil manusia yang paling menarik perhatian adalah
fosil yang ditemukan di Spanyol tahun 1995. Fosil itu ditemukan di sebuah gua
bernama Gran Dolina di daerah Atapuerca, Spanyol, oleh tiga ahli
paleoantropologi berkebangsaan Spanyol dari Universitas Madrid. Fosil itu
berupa anak lelaki berusia 11 tahun yang sepenuhnya mirip manusia modern.
Padahal, anak itu meninggal 800.000 tahun silam. Fosil ini mengguncang keyakinan
Juan Luis Arsuaga Ferreras, pemimpin penggalian Gran Dolina. Ferreras berkata:
Kami menduga sesuatu yang amat besar, yang luar biasa –kau
tahu, sesuatu yang primitif… Kami duga, anak dari masa 800.000 tahun yang silam
akan seperti Anak Turkana. Tapi yang kami temukan adalah wajah yang sepenuhnya
modern… Bagi saya, ini amat spektakuler – inilah jenisjenis hal yang
mengejutkan kita. Sesuatu yang amat tak terduga seperti itu. Bukan menemukan
fosil; menemukan fosil juga tak terduga, dan tak apa-apa. Tapi hal yang paling
spektakuler adalah menemukan sesuatu, yang kita duga hanya ada di masa kini,
dari masa lalu. Ini semacam menemukan sesuatu seperti – seperti menemukan tape recorder di Gran Dolina. Sangat
mengejutkan. Kita tidak mengharapkan menemukan kaset dan tape recorder di zaman Pleistocene Bawah. Menemukan wajah modern
dari masa 800.000 tahun silam – adalah hal yang sama. Kami sangat terkejut
melihatnya. 15
Telah kita lihat, penemuan fosil telah mengungkap pernyataan
“evolusi manusia” sebagai
sebuah dusta. Oleh media tertentu,
pernyataan tersebut disajikan seolah itu fakta yang sudah terbukti. Padahal,
yang ada cuma teori fiktif. Para ilmuwan evolusionis menerima hal ini, dan
mengakui bahwa pernyataan “evolusi manusia” tidak didukung oleh bukti ilmiah.
Misalnya, dengan berkata “Kita muncul tiba-tiba
dalam catatan fosil”, ahli paleontologi evolusionis C. A. Villie, E. P. Solomon
dan P. W. Davis mengakui bahwa manusia muncul seketika, atau dengan kata lain,
tanpa nenek moyang evolusioner. 16
Mark Collard dan Bernard Wood, dua ahli
antropologi evolusionis terpaksa berkata, “hipotesa
filogenetis
yang ada tentang evolusi manusia tampaknya sukar dipercaya.” dalam
tulisan mereka tahun 2000.
17
Setiap penemuan fosil
baru semakin menyulitkan para evolusionis, walaupun ada surat kabar yang senang
memasang berita utama seperti “Mata rantai yang hilang telah ditemukan.” Fosil
tengkorak kepala yang ditemukan tahun 2001,
yang dinamai Kenyanthropus platyops
adalah contoh paling mutakhir. Ahli paleontologi evolusionis Daniel E.
Lieberman dari Jurusan Antropologi Universitas Washington berkata dalam artikel
jurnal ilmiah terkenal, Nature,
tentang Kenyanthropus platyops:
Sejarah evolusi manusia adalah rumit dan belum terpecahkan.
Sekarang tampaknya akan semakin
membingungkan dengan ditemukannya spesies dan genus lain, dari masa 3,5 juta
tahun silam… Sifat Kenyanthropus
platyops menimbulkan segala macam pertanyaan, tentang evolusi manusia
umumnya dan perilaku spesies ini khususnya. Contohnya, mengapa makhluk ini
memiliki kombinasi yang tak biasa, yaitu gigi kecil dengan wajah lebar pipih,
serta lengkung tulang pipi yang terdapat di bagian anterior? Semua spesies
hominin lain, yang dikenal memiliki wajah besar dan tulang pipi serupa, bergigi
besar-besar. Saya duga, K. platyops pada tahun-tahun mendatang
akan berperan sebagai semacam “perusak suasana”, menyoroti kebingungan yang
dihadapi oleh penelitian tentang hubungan evolusioner antara makhluk hominin. 18
Bukti mutakhir yang menghancurkan pernyataan teori evolusi
tentang asal-usul manusia adalah fosil baru Sahelanthropus
tchadensis yang digali di negara Chad di Afrika Tengah, musim panas 2002.
Fosil itu telah
mengacaukan dunia Darwinisme. Jurnal kelas dunia, Nature, mengakui bahwa “Tengkorak kepala yang baru ditemukan dapat
menggugurkan gagasan kita tentang evolusi manusia.” 19
Daniel Lieberman dari Universitas Harvard berkata “[Penemuan]
ini akan memiliki dampak
seperti bom nuklir
kecil.” 20
Alasannya: walaupun
fosil tersebut berumur lebih dari 7 juta tahun, strukturnya lebih “menyerupai
manusia” (menurut kriteria yang sering dipakai kaum evolusionis) dibandingkan
dengan spesies kera Australopithecus
berusia 5 juta tahun (yang dianggap sebagai “moyang tertua umat manusia”). Ini
menunjukkan, mata rantai antara spesies kera yang telah punah, berdasarkan
kriteria “kemiripannya dengan manusia“ yang teramat subjektif dan penuh
praduga, sepenuhnya
adalah khayal belaka.
John Whitfield, dalam artikelnya Oldest Member of Human Family Found (Anggota Tertua Keluarga
Manusia Telah Ditemukan) dalam jurnal Nature
edisi 11 Juli 2002, memperkukuh pendapat ini mengutip Bernard Wood, ahli
antropologi evolusionis dari Universitas George Washington:
“Ketika saya mulai kuliah kedokteran tahun 1963, evolusi
manusia tampak bagai tangga,” katanya [Bernard Wood]. Tangga itu mulai dari
kera, dan meningkat menuju manusia, melalui tahap-tahap perantara, makhluk yang
semakin jauh dari rupa kera. Sekarang, evolusi manusia mirip semak-semak. Ada
sekumpulan fosil makhluk hominid… Bagaimana hubungan antara makhluk tersebut,
serta yang mana, kalau memang ada, merupakan nenek moyang manusia, masih
diperdebatkan. 21
Ulasan Henry Gee, editor senior Nature serta ahli paleoantropologi terkemuka, tentang fosil kera
yang baru ditemukan sungguh patut disimak. Dalam tulisannya yang diterbitkan The Guardian, Gee mengulas tentang debat
seputar fosil itu dan menulis:
Apa pun hasilnya, tengkorak kepala itu menegaskan bahwa
gagasan lama tentang mata rantai yang hilang adalah omong kosong… sekarang
harusnya sudah jelas, bahwa ide mata rantai yang hilang, yang dari awal memang
amat lemah, sama sekali tak bisa dilanjutkan. 22
Seperti kita lihat, penemuan yang semakin banyak itu menghasilkan
bukti-bukti yang mengguncangkan teori evolusi, bukan memperkukuhnya. Jika
proses evolusi demikian memang telah terjadi, seharusnya banyak ditemukan
jejaknya, dan setiap penemuan baru seharusnya memperkuat teori ini. Dalam The Origin of Species, Darwin menyatakan
bahwa ilmu pengetahuan akan berkembang ke sana. Dalam pandangan Darwin,
satu-satunya hambatan teorinya dalam catatan fosil adalah tiadanya penemuan
fosil. Darwin berharap, penelitian masa mendatang akan menghasilkan penemuan
fosil yang tak terhitung jumlahnya, yang akan mendukung teorinya. Akan tetapi,
satu per satu penemuan ilmiah telah membuktikan impian Darwin sama sekali tak
berdasar.
Pentingnya sisa-sisa peninggalan yang berkaitan dengan
manusia
Penemuan terkait dengan manusia, yang beberapa contohnya
telah kita bahas di sini, mengungkapkan kebenaran yang amat penting. Khususnya,
kini terungkap bahwa pernyataan evolusionis – bahwa nenek moyang manusia adalah
makhluk serupa kera – adalah hasil khayalan luar biasa. Karena itu, mustahil
spesies kera tersebut bisa menjadi nenek moyang manusia.
Kesimpulannya, catatan fosil membuktikan bahwa manusia muncul di Bumi
berjuta-juta tahun yang lalu, dalam wujud tepat sama dengan manusia sekarang,
dan bahwa manusia telah menghuni Bumi sekian lamanya tanpa perkembangan evolusi
sedikit pun. Jika kaum evolusionis memang jujur dan ilmiah, seharusnya di titik
ini mereka sudah membuang proses khayal tentang kera menjadi manusia ini ke
tempat sampah. Bila mereka tidak meninggalkan pohon silsilah palsu ini,
jelaslah bahwa evolusi bukan teori yang dipertahankan atas nama ilmu
pengetahuan, melainkan dogma yang terus dihidupkan di hadapan berbagai fakta
ilmiah.
Sudah sekian lamanya kaum evolusionis menyebarluaskan tesis
–yang belum terbukti– yang menyatakan bahwa terdapat sangat sedikit perbedaan
genetis antara manusia dan simpanse. Dalam setiap bahan bacaan evolusionis,
Anda dapat membaca kalimat semacam “kita 99% sama persis dengan simpanse” atau
“hanya 1% DNA yang menjadikan kita manusia”. Walaupun belum ada perbandingan
yang pasti antara genom manusia dan simpanse, ideologi Darwinis mendorong
mereka untuk percaya bahwa terdapat sangat sedikit perbedaan di antara kedua
spesies itu.
Sebuah studi di tahun 2002
mengungkapkan bahwa propaganda evolusionis dalam perihal ini – seperti dalam
banyak perihal lainnya – adalah sepenuhnya tidak benar. Manusia dan simpanse
tidaklah “99% sama” seperti kata dongeng evolusionis. Kesamaan genetis ternyata
tak sampai 95%. Dalam berita CNN.com berjudul “Manusia, simpanse lebih berbeda
daripada yang diduga”, dikatakan:
Terdapat perbedaan yang lebih banyak antara simpanse dan
manusia daripada yang semula diyakini, demikian menurut sebuah studi genetis.
Para ahli biologi telah lama meyakini bahwa gen manusia dan
simpanse sekitar 98,5% sama persis. Tetapi Roy Britten, seorang biologiwan di
California Institute of Technology, berkata dalam sebuah studi yang diterbitkan
minggu ini bahwa cara baru pembandingan gen memperlihatkan bahwa kesamaan
genetis antara manusia dan simpanse hanyalah sekitar 95 persen.
Britten mengambil kesimpulan ini berdasarkan sebuah program
komputer yang membandingkan 780.000 dari 3 miliar pasang basa dari heliks DNA
manusia dengan yang ada pada simpanse. Ia menemukan lebih banyak ketidakcocokan
daripada yang ditemukan para peneliti sebelumnya, dan menyimpulkan bahwa
sedikitnya 3,9 persen basa DNA adalah berbeda.
Ini membuatnya berkesimpulan bahwa terdapat sekitar 5%
perbedaan genetis mendasar
antara kedua spesies. 25
New Scientist,
sebuah majalah ilmiah terkemuka sekaligus pendukung gigih Darwinisme,
melaporkan hal yang sama berikut, dalam tulisan yang berjudul “Perbedaan DNA
manusia dengan simpanse kini tiga kali lebih besar”:
Ternyata kita lebih berbeda daripada dugaan semula,
demikian menurut hasil perbandingan terkini atas DNA manusia dan simpanse.
Telah lama diyakini bahwa kita memiliki 98,5 persen kesamaan bahan genetis
dengan saudara terdekat kita. Sekarang, tampaknya ini tidak benar. Nyatanya,
kita memiliki kesamaan bahan genetik tak sampai 95%, yang berarti peningkatan
tiga kali lipat dalam hal variasi antara kita dengan simpanse. 26
Ahli biologi Boy Britten, serta para evolusionis lain,
terus mengkaji hasil tersebut berdasarkan teori evolusi, walaupun sebenarnya
tidak ada alasan ilmiah untuk itu. Teori evolusi tidak didukung oleh catatan
fosil maupun data genetis atau biokimia. Sebaliknya, bukti menunjukkan bahwa
berbagai makhluk hidup muncul di Bumi secara tiba-tiba tanpa adanya nenek
moyang evolusioner, dan bahwa sistem kompleks pada makhluk hidup itu
membuktikan adanya “rancangan cerdas”.
DNA manusia juga serupa dengan DNA ayam, cacing dan
nyamuk!
Sebagai tambahan, protein-portien dasar seperti yang telah
diungkapkan di atas adalah molekul vital yang serupa dan umum dijumpai bukan
saja pada simpanse, melainkan juga pada banyak makhluk hidup yang amat berbeda.
Struktur protein pada semua spesies ini amat serupa dengan protein pada
manusia.
Sebagai contohnya, analisa genetis yang diterbitkan dalam New Scientist telah mengungkapkan 75% kesamaan antara DNA cacing nematoda dan
DNA manusia.27 Hal
ini sama sekali tidak berarti bahwa perbedaan antara cacing tersebut dengan
manusia hanya sebesar 25%!
Sebaliknya, dalam sebuah penemuan lain yang juga telah
terbit di media, dinyatakan bahwa hasil pembandingan antara gen lalat buah genus Drosophila dengan gen manusia menunjukkan kesamaan sebesar 60%.
28
Bila makhluk hidup selain manusia dikaji, tampak tidak ada
hubungan molekuler seperti yang dikemukakan para evolusionis.29 Fakta ini menunjukkan
bahwa konsep kesamaan bukanlah bukti evolusi.
Sebab
timbulnya kesamaan: “Satu
Rancangan
Untuk Semua”
Tentu saja wajar apabila tubuh manusia memiliki kesamaan
molekuler dengan makhluk hidup lainnya, karena molekul penyusun tubuh makhluk
hidup adalah sama, air dan udara yang dikonsumsi adalah sama, makanan makhluk
hidup tersusun dari molekul yang sama. Tentu saja, metabolisme makhluk hidup,
dan dengan begitu sekaligus susunan genetisnya, akan serupa satu sama lain. Akan tetapi hal ini bukan bukti bahwa
makhluk hidup berasal dari satu nenek moyang.
“Kesamaan materi” ini bukan hasil proses evolusi, melainkan
hasil “kesamaan rancangan”,
yaitu makhluk hidup
diciptakan berdasarkan satu rencana yang sama.
Untuk menjelaskan hal tersebut, kita dapat mengambil contoh
berikut: semua bangunan di dunia ini terbuat dari bahan yang serupa (batu-bata,
besi, semen, dst.). Akan tetapi, tidak berarti satu bangunan berevolusi dari
bangunan lainnya. Bangunan-bangunan itu didirikan secara terpisah dengan
menggunakan bahan-bahan yang sama. Demikian pula halnya dengan makhluk hidup.
Namun, tentu saja struktur makhluk hidup yang kompleks itu
tidak bisa dibandingkan dengan apa yang ada pada jembatan.
Makhluk hidup tidak tercipta sebagai hasil
peristiwa-peristiwa kebetulan tanpa disengaja, seperti pernyataan teori
evolusi, tetapi merupakan hasil ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa, Sang Pemilik
pengetahuan dan kearifan yang tak terhingga.
7
DINOSAURUS
BEREVOLUSI MENJADI BURUNG ADALAH MITOS TIDAK ILMIAH?
Teori evolusi adalah sebuah dongeng yang diciptakan
berdasarkan harapan bahwa yang mustahil akan menjadi kenyataan. Dalam cerita
ini, burung menempati tempat yang istimewa. Dibandingkan semua yang ada, burung
memiliki organ luar biasa, yakni sayap. Selain istimewa dari segi struktural,
sayap burung juga menakjubkan dari segi fungsinya. Begitu menakjubkan, sehingga
selama beribu-ribu tahun, umat manusia memiliki cita-cita untuk bisa terbang,
dan beribu-ribu ilmuwan dan peneliti berupaya untuk menirunya. Meskipun
sejumlah upaya sangat sederhana pernah dikerahkan, barulah pada abad ke-dua
puluh, manusia berhasil membuat mesin yang mampu terbang. Burung sudah
melakukan hal ini – yang oleh manusia baru terwujud melalui akumulasi teknologi
selama beratus-ratus tahun – sejak jutaan tahun yang lalu, sejak burung
tercipta. Lagi pula, anak burung dapat memiliki kemampuan untuk terbang setelah
mencobanya beberapa kali saja. Banyak sifat-sifat burung yang begitu sempurna,
sehingga tak mungkin disaingi oleh teknologi paling modern sekali pun.
Teori evolusi bersandar pada komentar-komentar berprasangka
dan pemutarbalikkan kebenaran untuk menjelaskan kemunculan makhluk hidup dan
seluruh keberagamannya. Apabila sudah menyangkut makhluk hidup seperti burung,
ilmu pengetahuan pun sepenuhnya disingkirkan, dan diganti dengan kisah fantasi
evolusionis. Alasan dari semua ini adalah sejenis makhluk yang oleh kaum
evolusionis dinyatakan sebagai nenek moyang dari burung. Teori evolusi
menandaskan bahwa nenek moyang dari burung adalah dinosaurus, anggota kelompok
reptil. Pernyataan ini memunculkan dua pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, “bagaimana
dinosaurus mulai
menumbuh-kembangkan
sayap?” Kedua, “mengapa tidak ada jejak prekembangan semacam itu dalam catatan
fosil?”
Berkenaan dengan bahasan tentang bagaimana dinosaurus
berubah menjadi burung, para evolusionis telah lama memperdebatkannya, dan
mengajukan dua teori. Yang pertama adalah teori “kursorial”. Menurut teori ini,
dinosaurus berubah menjadi burung dengan cara melompat dari tanah ke udara.
Adapun para pendukung teori kedua tidaklah sependapat dengan teori kursorial
ini. Mereka berkata, mustahil dinosaurus berubah menjadi burung dengan cara
demikian. Menurut teori kedua ini, dinosaurus yang hidup di dahan pepohonan
berubah menjadi burung karena berusaha melompat dari dahan ke dahan. Ini biasa
disebut sebagai teori “arboreal”. Bagaimana dinosaurus bisa melompat ke udara?
Jawabannya sudah tersedia: “Karena mencoba menangkap serangga terbang.”
Akan tetapi, kita harus ajukan pertanyaan berikut ini
kepada mereka yang berkata bahwa sebuah sistem penerbangan beserta sayapnya
dapat muncul pada tubuh seekor dinosaurus: Bagaimanakah sistem terbang pada
seekor lalat – yang jauh lebih efisien daripada helikopter yang kemudian
dibentuk mengikuti sistem terbang pada lalat – terbentuk? Anda akan pahami
bahwa kaum evolusionis tak memiliki jawabannya. Sudah pasti teramat tidak masuk
akal bahwa suatu teori yang tak sanggup menjelaskan sistem terbang pada makhluk
sekecil lalat, akan sanggup menjelaskan proses perubahan dinosaurus menjadi
burung.
Karena itulah, para ilmuwan yang berpikir secara benar pun
sepakat, bahwa satu-satunya segi ilmiah pada teori tersebut adalah nama-nama
yang berbahasa Latin. Pada intinya, munculnya kemampuan terbang hewan reptil
hanyalah khayalan.
Kaum evolusionis, yang berpendapat bahwa dinosaurus berubah
menjadi burung, haruslah mampu memperoleh buktinya dalam catatan fosil. Jika
dinosaurus memang berubah menjadi burung, harus terdapat makhluk setengah
burung-setengah dinosaurus yang hidup di masa lampau, serta meninggalkan
jejaknya dalam catatan fosil. Sudah bertahun-tahun lamanya, para evolusionis
menyatakan bahwa seekor burung yang disebut “Archaeopteryx” merupakan bukti transisi tersebut.
Akan tetapi pernyataan ini tak lain adalah
sebuah penipuan besar.
Archaeopteryx,
makhluk yang dianggap sebagai nenek moyang burung modern oleh para evolusionis,
hidup sekitar 150 juta tahun silam. Menurut teori ini, ada sejenis dinosaurus
berukuran kecil, misalnya Velociraptors
dan Dromaesaurs, yang berevolusi,
yaitu menumbuhan sayap dan lalu mulai terbang. Jadi, Archaeopteryx dianggap sebagai bentuk peralihan, yang muncul dari
dinosaurus – nenek moyangnya – lalu mulai terbang untuk pertama kalinya.
Tetapi, kajian terakhir atas fosil Archaeopteryx menunjukkan bahwa penjelasan ini tidak memiliki dasar
ilmiah. Archaeopteryx bukan bentuk
peralihan, melainkan spesies burung yang sudah punah, yang tidak jauh berbeda
dengan burung modern.
Hingga beberapa waktu yang lalu, pendapat bahwa Archaeopteryx adalah “setengah burung”
yang belum sanggup terbang sempurna merupakan pandangan yang umum diterima di
kalangan kaum evolusionis. Tiadanya tulang dada atau sternum pada makhluk ini,
dianggap sebagai bukti terpenting bahwa kemampuan terbangnya tidak sempurna.
(Sternum adalah tulang tempat menempel otot-otot untuk terbang, yang terletak
di bawah toraks. Di zaman sekarang, tulang dada terdapat pada semua jenis
burung, baik yang dapat terbang maupun tidak, bahkan terdapat juga pada
kelelawar, yang tergolong mamalia terbang.)
Akan tetapi, fosil Archaeopteryx
ketujuh, yang ditemukan tahun 1992, menjadi bukti penentang argumen tadi.
Alasannya adalah, dalam fosil yang baru saja ditemukan ini, terdapat tulang
dada yang selama ini dianggap tak ada oleh kaum evolusionis. Dalam jurnal Nature, fosil ini digambarkan sebagai
berikut:
Spesimen Archaeopteryx
yang baru saja ditemukan menampakkan tulang sternum yang berbentuk persegi,
yang sudah lama diperkirakan ada, tetapi belum pernah didokumentasikan. Ini
menjadi tanda akan kekuatan otot terbangnya, walaupun kemampuan terbang-jauhnya
masih dipertanyakan. 30
Penemuan ini meruntuhkan tiang utama yang melandasi
pernyataan bahwa Archaeopteryx adalah
makhluk setengah burung, yang tak mampu terbang sempurna.
Lagi pula, struktur bulu burung ini merupakan salah satu
bukti terpenting bahwa Archaeopteryx
adalah burung sejati yang dapat terbang. Struktur bulu Archaeopteryx, yang tidak simetris, tidak bisa dibedakan dari bulu
burung zaman modern. Ini menandakan bahwa burung ini benar-benar
bisa terbang. Seperti kata ahli paleontologi ternama, Carl O. Dunbar, “Dilihat
dari bulunya, jenis [Archaeopteryx]
jelas termasuk kelompok burung.” 31
Ahli paleontologi Robert Carroll menjelaskan hal ini lebih lanjut:
Geometri bulu yang berfungsi untuk terbang pada Archaeopteryx adalah sama persis dengan
bulu burung modern yang dapat terbang, sedangkan bulu pada unggas yang tak bisa
terbang adalah simetris. Pola yang dengannya bulu-bulu tersebut tersusun pada
sayapnya juga masih termasuk dalam kelompok burung modern… Menurut Van Tyne dan
Berger, bentuk dan ukuran relatif sayap
Archaeopteryx
serupa dengan yang ada pada burung yang biasa menembus rapatnya pepohonan,
misalnya burung unggas yang sudah didomestikasi, merpati, burung rawa, burung
pelatuk, dan kebanyakan burung layang… Bulu yang berfungsi untuk terbang ini
telah berada dalam keadaan yang sama selama sedikitnya 150 juta tahun … 32
Fakta lain yang terungkap lewat struktur bulu Archaeopteryx adalah metabolismenya yang
tergolong berdarah panas. Seperti telah dibahas tadi, reptil dan – walaupun ada
pendapat kaum evolusionis yang menentang ini – dinosaurus tergolong hewan
berdarah dingin, yang suhu tubuhnya berubah tergantung suhu lingkungan. Lain
halnya pada hewan berdarah panas, yang suhu tubuhnya diatur secara homeostatis
(tidak bergantung pada suhu lingkungan di luar tubuh – penerj.). Fungsi bulu
burung yang amat penting adalah pemeliharaan suhu tubuh yang senantiasa tetap.
Fakta bahwa Archaeopteryx memiliki
bulu membuktikan bahwa makhluk ini adalah burung sejati berdarah panas yang
perlu menjaga panas tubuhnya; tidak demikian halnya pada dinosaurus.
Terdapat dua hal yang menjadi landasan kaum evolusionis
dalam menyatakan bahwa Archaeopteryx
adalah bentuk peralihan, yaitu adanya cakar pada sayap dan giginya.
Memang benar bawa Archaeopteryx
memiliki cakar pada sayapnya, dan gigi dalam paruhnya. Tapi kedua ciri ini
tidak berarti Archaeopteryx berkerabat
dengan reptilia. Di samping itu, terdapat dua spesies burung masa kini, touraco dan hoatzin, yang juga memiliki cakar pada sayapnya yang digunakan
untuk bertengger pada dahan pohon. Kedua makhluk ini adalah burung seutuhnya,
tanpa ciri-ciri reptil. Karenanya, adalah sama sekali tidak berdasar untuk
mengatakan bahwa Archaeopteryx adalah
bentuk peralihan, hanya karena sayapnya bercakar.
Gigi yang terdapat dalam paruh Archaeopteryx bukanlah pula tanda bahwa burung ini adalah makhluk
transisi. Kaum evolusionis telah keliru ketika menyatakan bahwa gigi-gigi
tersebut adalah ciri khas yang berasal dari reptil. Hal ini disebabkan gigi
bukanlah ciri khas reptil. Di zaman sekarang, terdapat reptil yang bergigi, dan
ada pula yang tidak. Lagi pula, Archaeopteryx
bukanlah satu-satunya burung yang bergigi. Memang benar, di masa kini tidak ada
lagi burung yang bergigi. Namun, dalam catatan fosil, tampak bahwa di masa
hidup Archaeopteryx dan di masa
sesudahnya, dan bahkan hingga belum lama ini, terdapat sekelompok burung yang
dapat digolongkan sebagai “burung bergigi”.
Hal terpenting di sini adalah, struktur gigi Archaeopteryx dan burung bergigi lainnya
sama sekali berbeda dengan struktur gigi dinosaurus, yang dianggap sebagai
nenek moyang hewan jenis burung. Ahli ornitologi ternama, L. D. Martin, J. D.
Stewart, dan K. N. Whetstone, mengamati bahwa pada Archaeopteryx dan burung sejenis lainnya, terdapat gigi yang tidak
bergerigi, bagian bawahnya menyempit, dan akarnya melebar. Sedangkan pada
dinosaurus theropoda, yang dinyatakan sebagai nenek moyang burung, terdapat
gigi yang bergerigi dan berakar lurus.33
Para peneliti ini juga membandingkan tulang pergelangan kaki Archaeopteryx dengan dinosaurus.
Dilaporkan bahwa tak ada kesamaan antara keduanya.34
Penelitian para ahli anatomi seperti S. Tarsitano, M. K.
Hecht, dan A. D. Walker, telah mengungkapkan adanya salah tafsir pada
pernyataan John Ostrom – ahli terkemuka di bidang ini, yang berpendapat bahwa Archaeopteryx berevolusi dari dinosaurus
– serta ahli lainnya yang melihat kesamaan antara tungkai kaki Archaeopteryx dan dinosaurus.35 Sebagai contohnya, A. D.
Walker telah melakukan analisis bagian telinga Archaeopteryx, dan menemukan bahwa keadaannya adalah amat serupa
dengan burung modern. 36
Dalam bukunya, Icons
of Evolution, ahli biologi Amerika Jonathan Wells berkomentar bahwa Archaeopteryx telah dijadikan sebuah
lambang penting dari teori evolusi. Padahal, bukti-bukti menunjukkan bahwa
makhluk tersebut bukanlah nenek moyang primitif dari burung. Menurut
Wells, salah satu buktinya adalah
dinosaurus theropoda – yang dianggap sebagai nenek moyang Archaeopteryx – sebenarnya lebih muda daripada Archaeopteryx: “Reptil berkaki dua yang berlari di muka bumi, dan
memiliki ciri-ciri yang diperkirakan terdapat pada nenek moyang Archaeopteryx, baru muncul sesudahnya.”37
Semua penemuan ini menjadi pertanda bahwa Archaeopteryx bukanlah mata rantai
transisi, melainkan hanya sejenis burung yang dapat digolongkan sebagai “burung
bergigi”.
Menghubungkan makhluk
ini dengan dinosaurus theropoda sama sekali tidak absah. Dalam artikel berjudul
“The Demise of the ‘Birds Are Dinosaurs’
Theory” (Gugurnya Teori “Burung adalah Dinosaurus”), ahli biologi Amerika
Richard L. Deem menulis tentang pernyataan evolusi burungdinosaurus dan Archaeopteryx:
Hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa tangan
dinosaurus theropoda berasal dari digit (bakal jari –terj.) I, II, dan III, sedangkan
sayap burung, walaupun strukturnya tampak mirip, berasal dari digit II, III,
dan IV… Terdapat sejumlah kesulitan lain yang mengganjal teori “burung adalah
dinosaurus” ini. Tungkai depan theropoda jauh lebih kecil (relatif terhadap
ukuran tubuh) daripada tungkai sayap Archaeopteryx.
“Bakal sayap” yang kecil pada theropoda tidaklah begitu meyakinkan, terutama
mengingat tubuh dinosaurus tersebut cukup berat. Hewan theropoda umumnya tidak
memiliki tulang pergelangan tangan berbentuk sabit, dan memiliki sejumlah
bagian penyusun pergelangan yang tidak memiliki homologi dengan tulang-tulang Archaeopteryx. Selain itu, hampir pada
seluruh hewan theropoda, saraf VI keluar dari tempurung otak melalui samping,
bersama-sama beberapa saraf lainnya; sedangkan pada burung, saraf VI keluar
dari depan tempurung otak, melalui lubangnya tersendiri. Di samping itu,
terdapat pula masalah kecil: sebagian besar jenis theropoda muncul setelah Archaeopteryx. 38
Sekali lagi, fakta-fakta tersebut menunjukkan dengan jelas
bahwa Archaeopteryx maupun
burung-burung purba lainnya yang sejenis bukanlah makhluk peralihan. Catatan
fosil tidak menunjukkan bahwa berbagai spesies burung mengalami evolusi dari
satu jenis ke jenis lainnya. Sebaliknya, catatan fosil membuktikan,
burung-burung jenis modern di masa kini dan beberapa jenis burung purba seperti
Archaeopteryx pernah hidup dalam satu
zaman. Memang benar bahwa sebagian dari burung purba seperti Archaeopteryx dan Confuciusornis telah punah, tetapi fakta bahwa hanya sebagian saja
dari spesies-spesies yang dulu pernah hidup bisa bertahan hingga masa kini
tidak berarti dengan sendirnya mendukung teori evolusi.
Pukulan baru bagi pernyataan teori “burung berevolusi dari
dinosaurus” datang dari penelitian embriologi burung unta. Dr. Alan Feduccia
dan Dr. Julie Nowicki dari Universitas North Carolina di Chapel Hill, telah
meneliti beberapa butir telur burung unta yang hidup, dan lagi-lagi
menghasilkan kesimpulan bahwa tidak ada kaitan evolusi antara burung dan
dinosaurus. Sebuah portal ilmiah bernama EurekAlert, yang dikelola oleh American Association for the Advancement of
Science, (AAAS) melaporkan:
Dr. Alan Feduccia dan
Dr. Julie Nowicki dari Universitas North Carolina (UNC) di Chapel Hill… membuka
beberapa butir telur burung unta yang hidup, dan menemukan hal yang mereka
yakini sebagai bukti bahwa burung tak mungkin merupakan keturunan dinosaurus…
Apa pun yang menjadi nenek moyang unggas di masa lalu,
makhluk it pastilah berjari lima, dan bukan tangan berjari tiga seperti
dinosaurus theropoda,” kata Feduccia … “Para ilmuwan sepakat, bahwa dinosaurus
memperoleh tangan dengan jari kesatu, kedua dan ketiga… Penelitian kami atas
embrio burung unta menunjukkan secara meyakinkan bahwa pada unggas, yang
berkembang hanyalah jari kedua, ketiga dan keempat, yang pada manusia setara
dengan jari telunjuk, jari tengah dan jari manis, dan kami punya foto-foto
sebagai buktinya,” kata Feduccia, dosen dan mantan ketua jurusan biologi di UNC.
“Ini memunculkan masalah baru bagi mereka yang bersikeras menyatakan bahwa
dinosaurus adalah nenek moyang dari burung modern. Sebagai contohnya, bagaimana
‘tangan’ unggas yang berjari kedua, ketiga dan keempat, berevolusi jadi jari
kesatu, kedua dan ketiga? Ini dapat dikatakan mustahil.“39
Dalam laporan yang sama, Dr. Feduccia juga memberi ulasan
penting atas ketidakabsahan – serta kedangkalan – teori “burung berevolusi dari
dinosaurus”:
“Terdapat permasalahan-permasalahan yang mustahil
dipecahkan dengan teori itu,” katanya [Dr. Feduccia]. “Selain hasil penelitian
kami, terdapat juga masalah penentuan zaman. Makhluk yang sekilas mirip
dinosaurus-burung itu hidup sekitar 25 juta hingga 80 juta tahun setelah
munculnya burung tertua, yaitu 150 juta tahun yang silam.”
“Jika seseorang melihat kerangka ayam dan kerangka
dinosaurus dengan menggunakan teropong, keduanya akan tampak serupa. Tetapi,
pemeriksaan yang lebih dekat dan teliti mengungkapkan banyak perbedaan,” kata
Feduccia. “Dinosaurus theropoda, misalnya, memiliki gigi yang bergerigi dan
melengkung. Tetapi burung-burung yang ada pertama kali mempunyai gigi lurus,
tak bergerigi, dan menyerupai paku. Kedua jenis hewan ini juga berbeda dalam
proses pertumbuhan dan pergantian gigi.”40
Bukti ini mengungkapkan, bahwa “dino-bird” (burung-dinosaurus) hanyalah sekadar lambang atau ikon
Darwinisme: sebuah mitos yang dipertahankan hanya demi keyakinan dogmatis atas
teori tersebut.
Dengan runtuhnya pernyataan evolusionis dalam hal fosil
burung purba Archaeopteryx, teori
evolusi kini menghadapi jalan buntu mengenai asal-usul burung. Karena itu,
sebagian kaum evolusionis terpaksa menggunakan cara klasik – pemalsuan. Di
tahun 1990-an, beberapa kali diberitakan kepada masyarakat bahwa “fosil makhluk
setengah-burung dan setengah-dinosaurus telah ditemukan.” Media massa
evolusionis memasang gambar-gambar makhluk yang disebut
“burung dinosaurus” ini dan sebuah kampanye
ke seluruh dunia pun dilancarkan. Tetapi, segera diketahui bahwa kampanye ini
didasarkan pada kontradiksi dan pemalsuan.
Tokoh pertama dalam kampanye ini adalah Sinosauropteryx, seekor dinosaurus yang
ditemukan di Cina pada tahun 1996. Fosil itu diperkenalkan ke seluruh dunia
sebagai “dinosaurus berbulu burung”, dan ditampilkan sebagai berita utama. Akan
tetapi, pengkajian terperinci di bulanbulan berikutnya mengungkapkan bahwa
struktur yang digembar-gemborkan oleh kaum evolusionis sebagai “bulu burung”
sebenarnya adalah bukan bulu burung.
Inilah penyajian berita itu dalam artikel berjudul Plucking the Feathered Dinosaur dalam
jurnal Science:
Tepat satu tahun silam, para ahli paleontologi sibuk
memperbincangkan foto yang disebut “dinosaurus berbulu burung”, yang diedarkan
di ruang pertemuan tahunan Perhimpunan
Paleontologi Vertebrata. Spesimen Sinosauropteryx dari Formasi Yixian di
negeri Cina menempati halaman depan The
New York Times, dan dianggap oleh
sebagian kalangan sebagai bukti bahwa dinosaurus merupakan asal-usul dari
burung. Tapi pada pertemuan paleontologi vertebrata tahun ini, di Chicago bulan
lalu, kesimpulannya agak lain: Struktur itu bukanlah bulu burung modern,
kata sekitar selusin ahli paleontologi Barat yang telah menyaksikan spesimen
itu … ahli paleontologi Larry Martin dari Universitas Kansas, Lawrence,
berpendapat bahwa struktur tersebut adalah serat kolagen yang terurai lepas di
bawah kulit – jadi, tak ada kaitannya
sama sekali dengan burung.41
Satu lagi hiruk pikuk
“burung-dino” membahana di tahun 1999. Satu lagi fosil yang ditemukan di negeri
Cina ditampilkan sebagai “bukti utama evolusi”. Majalah National Geographic, sumber kampanye ini, telah membuat dan
mengedarkan gambar khayal “dinosaurus berbulu burung” berdasarkan rekaan fosil
itu. Di beberapa negara, gambar itu menjadi berita utama. Spesies
yang dikatakan hidup 125 juta tahun yang
lalu ini, segera diberi nama ilmiah Archaeoraptor
liaoningensis.
Namun, fosil itu adalah palsu dan disusun secara lihai dari
lima buah spesimen terpisah. Setahun kemudian, sekelompok peneliti, tiga
diantaranya ahli paleontologi, membuktikan pemalsuan itu dengan bantuan
tomografi komputer sinar-X. Burung-dino itu adalah hasil rekayasa evolusionis
Cina. Beberapa orang amatir negeri Cina membentuk burung-dino itu dari 88 buah
tulang dan batu dengan bantuan lem dan semen. Penelitian menunjukkan, Archaeoraptor ini dibentuk dengan
menggunakan bagian depan kerangka burung purba, dan tubuh serta ekornya
dibentuk dari tulang empat spesimen yang berbeda. Artikel dalam jurnal ilmiah Nature menjelaskan pemalsuan itu sebagaimana
berikut:
Fosil Archaeoraptor
diumumkan sebagai “mata rantai yang hilang” serta dianggap sebagai bukti
terkuat yang mungkin, setelah Archaeopteryx,
yang membuktikan bahwa unggas memang hasil evolusi dari beberapa jenis
dinosaurus pemakan daging. Tetapi, Archaeoraptor
terungkap sebagai sebuah pemalsuan, yang berupa gabungan sejumlah tulang
yang berasal dari burung primitif dan seekor dinosaurus dromaeosaurid yang tidak bisa terbang… Spesimen Archaeoraptor, yang dilaporkan sebagai
hasil koleksi dari Formasi Jiufotang Kretasea Awal di Liaoning, diselundupkan
dari negeri Cina dan lalu dijual di Amerika Serikat di pasar komersial… Kami
simpulkan, bahwa
Archaeoraptor
terdiri dari dua spesies atau lebih, dan disusun setidaknya dari dua, mungkin
lima, spesimen yang berbeda… 42
Jadi, bagaimana mungkin
National Geographic bisa menyajikan
pemalsuan ilmiah besarbesaran ke seluruh dunia sebagai “bukti utama kebenaran
evolusi”? Jawabannya terselubung dalam
khayalan evolusioner di kalangan redaksi
majalah itu. National Geographic
secara membabi-buta mendukung Darwinisme, dan tak ragu menggunakan alat
propaganda apa pun yang dianggapnya mendukung teori itu. Akhirnya majalah ini
tersangkut dalam “skandal manusia Piltdown” kedua.
Para ilmuwan evolusionis juga menyadari sikap fanatik National Geographic. Dr. Storrs L.
Olson, kepala Departemen Ornitologi di Smithsonian
Institute yang ternama, mengumumkan bahwa sebelumnya ia telah mengingatkan
bahwa fosil itu palsu. Akan tetapi, para eksekutif majalah itu tak
menghiraukannya. Dalam suratnya untuk Peter Raven dari National Geographic, Olson menulis:
Sebelum
terbitnya artikel “Dinosaurus Memperoleh
Sayap” dalam majalah National
Geographic
edisi Juli 1998, Lou Mazzatenta, fotografer untuk artikel Sloan, mengundang
saya ke National Geographic Society
agar melihat-lihat foto fosil-fosil Cina serta memberi komentar atas ceritanya.
Saat itu, saya berupaya menekankan fakta yang mendukung kuat sejumlah sudut
pandang alternatif yang ada selain dari yang hendak disajikan National Geographic. Akan tetapi,
akhirnya telah menjadi jelas di hadapan saya bahwa National Geographic tidak tertarik pada apa pun selain dogma yang
ada, yaitu burung adalah hasil evolusi dinosaurus.43
Dalam pernyataan di USA
Today, Olson berkata, “Masalahnya
adalah, saat itu fosil tersebut telah diketahui oleh National Geographic sebagai palsu, tetapi informasi itu tidak
diungkapkan.”44 Dengan
kata lain, ia mengatakan bahwa National
Geographic mempertahankan pemalsuan itu, walaupun tahu bahwa fosil yang
sedang diberitakan olehnya sebagai bukti evolusi adalah palsu.
Harus dijelaskan di sini, bahwa tindakan National Geographic bukanlah pemalsuan
pertama demi mempertahankan teori evolusi. Banyak kejadian serupa sesudah teori
itu pertama kali diajukan. Ahli biologi Jerman, Ernst Haeckel, membuat gambar
embrio yang palsu untuk mendukung Darwin. Para evolusionis Inggris memasang
rahang orang utan pada tengkorak kepala manusia, dan selama 40 tahun
memamerkannya di British Museum sebagai “manusia Piltdown, bukti terbesar
kebenaran evolusi.” Para evolusionis Amerika menampilkan “manusia Nebraska”
dari sebuah gigi babi. Di seluruh dunia, gambar palsu yang disebut-sebut
sebagai “rekonstruksi”, yang sebenarnya tidak pernah ada, telah dianggap
sebagai “makhluk primitif” atau “manusia kera”.
Singkat kata, kaum evolusionis telah mengulangi metode
pemalsuan kasus manusia Piltdown. Mereka menciptakan sendiri bentuk peralihan
yang tidak mampu mereka temukan. Dalam sejarah, peristiwa ini menunjukkan
betapa propaganda internasional telah menipu demi teori evolusi, dan para
evolusionis bersedia melakukan segala macam dusta demi mempertahankannya.
8
PEMALSUAN ILMIAH APAKAH YANG
MENJADI DASAR BAGI MITOS
“EMBRIO MANUSIA MEMILIKI INSANG”?
Tesis yang menyatakan bahwa makhluk hidup melalui berbagai
tahapan di dalam rahim induknya, yang dapat dianggap sebagai bukti evolusi,
menempati kedudukan istimewa di antara pernyataan-pernyataan tanpa bukti dari
teori evolusi. Hal ini dikarenakan tesis ini, yang dikenal sebagai
“rekapitulasi“dalam literatur evolusi, lebih dari sekedar penipuan ilmiah: ini
adalah pemalsuan ilmiah.
Takhayul rekapitulasi Haeckel
Istilah “rekapitulasi” adalah ringkasan dari pernyataan
“ontogeni merekapitulasi filogeni”, yang diajukan oleh ahli biologi
evolusioner, Ernst Haeckel di akhir abad kesembilan belas. Teori Haeckel ini
menyatakan bahwa perkembangan embrio mengulangi proses evolusi yang dialami
oleh “nenek moyang” mereka di zaman purba. Menurut teori ini, embrio manusia
dalam rahim sang ibu pada awalnya menampilkan ciri-ciri fisik seekor ikan, lalu
reptil, dan terakhir manusia. Pendapat ini mencetuskan pernyataan bahwa embrio
memiliki “insang“ dalam tahap pertumbuhannya.
Akan tetapi, ini semua hanyalah takhayul. Perkembangan
ilmiah yang telah dicapai, sejak rekapitulasi didengungkan untuk pertama kali,
telah memungkinkan diujinya keabsaan pernyataan tersebut. Penelitian-penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa doktrin rekapitulasi tidak memiliki
landasan apa pun selain khayalan dan penafsiran keliru yang sengaja dilakukan kaum
evolusionis.
Kini telah diketahui bahwa apa yang disebut-sebut “insang”
itu, yang tumbuh pada tahap awal perkembangan embrio manusia, sebenarnya adalah
fase awal dari saluran telinga tengah, kelenjar timus dan paratiroid. Bagian
embrio yang diserupakan sebagai “kantung kuning telur” ternyata adalah kantung
yang berfungsi untuk menghasilkan darah bayi. Bagian yang disebut-sebut sebagai
“ekor” oleh Haeckel dan pengikutnya, sebenarnya adalah tulang belakang yang
tampak
mirip ekor karena
terbentuk lebih dulu daripada tungkai kaki.
Inilah fakta-fakta yang diakui secara luas dalam dunia
ilmiah, dan bahkan kaum evolusionis sendiri mengakuinya. George Gaylord
Simpson, salah satu pendiri neo-Darwinisme, menulis:
Haeckel salah menyatakan prinsip evolusioner yang dipakai.
Sekarang dengan mantap telah dikukuhkan bahwa ontogeni tidak mengulangi
filogeni. 45
Berikut ini tercantum
dalam artikel New Scientist
tertanggal 16 Oktober 1999:
[Haeckel] menamakan ini sebagai hukum biogenetika, dan
gagasan ini kemudian secara luas disebut sebagai rekapitulasi. Faktanya, hukum
Haeckel yang tegas itu tak lama kemudian terbukti keliru. Misalnya, embrio manusia tahap awal tidak pernah
memiliki insang yang berfungsi seperti ikan, dan tak pernah melewati
tahapan-tahapan yang menyerupai kera atau reptil dewasa. 46
Dalam artikel terbitan American Scientist, kita membaca:
Sungguh, hukum biogenetika itu sudah benar-benar mati.
Hukum ini akhirnya dihilangkan dari buku teks biologi pada tahun lima puluhan.
Sebagai sebuah pokok pengkajian teoritis yang serius, hukum ini ini sudah punah
di tahun dua puluhan… 47
Sebagaimana telah kita saksikan, sejak pertama kali muncul,
berbagai perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa rekapitulasi sama sekali
tidak memiliki dasar-dasar ilmiah. Walaupun demikian, berbagai perkembangan
yang sama tersebut menunjukkan bahwa rekapitulasi bukan sekedar suatu penipuan
ilmiah, melainkan sebuah “pemalsuan” murni.
Gambar palsu Haeckel
Ernst Haeckel, yang pertama kali mengajukan gagasan
rekapitulasi, telah menerbitkan sejumlah gambar untuk mendukung teorinya. Haeckel membuat gambar-gambar yang telah
dipalsukan, untuk menampilkan kesan bahwa embrio manusia dan ikan memiliki
kemiripan! Ketika dusta ini terungkap, dia hanya dapat membela diri dengan
cara berkata bahwa para evolusionis lain telah melakukan kesalahan serupa:
Setelah pengakuan yang memalukan atas “pemalsuan” ini, saya
sepatutnya menganggap diri saya tercela dan tak berguna, seandainya saya tidak
merasa terhibur oleh adanya ratusan “orang hukuman” yang
senasib dengan saya, di antaranya terdapat para pengamat paling terpercaya dan
para ahli biologi paling terhormat. Kebanyakan dari semua gambar yang ada pada
buku-buku pelajaran, makalah dan jurnal biologi terbaik, hingga tingkat yang
sama, menanggung dakwaan “pemalsuan”, karena semua gambar itu tidak pasti,
banyak sedikitnya sudah diubah-ubah, diatur dan dirancang. 48
Jurnal ilmiah Science
edisi 5 September, 1997, menerbitkan artikel yang mengungkapkan bahwa gambar
embrio Haeckel adalah hasil penipuan. Tuisan itu, yang diberi judul “Haeckel’s Embryos: Fraud Rediscovered”
(Embrio-Embrio Haeckel: Pemalsuan yang Terungkap Lagi) menyatakan berikut ini:
Kesan yang diberikan [oleh gambar-gambar Haeckel], yang
menyatakan bahwa semua embrio itu persis sama, adalah salah, ungkap Michael
Richardson, seorang ahli embriologi di Fakultas Kedokteran St. George’s di
London… Demikianlah, ia dan rekan-rekannya melakukan sendiri suatu penelitian
pembandingan, memeriksa ulang dan memotret beberapa embrio, yang berasal dari
spesies dan umur yang kira-kira setara dengan gambar Haeckel. Nyatalah bahwa
semua embrio itu “seringkali tampak benar-benar berbeda luar biasa”, lapor
Richardson dalam Anatomy and Embryology,
terbitan bulan Agustus.49
Kemudian, dalam artikel yang sama ini,
informasi berikut ini terungkap:
Haeckel tidak saja menambah dan mengurangi sejumlah bagian,
lapor Richardson dan rekanrekannya, tetapi ia juga memalsukan ukurannya untuk melebih-lebihkan kesamaan di antara spesies,
meskipun terdapat perbedaan ukuran sebesar 10 kali. Terlebih, Haeckel
menyamarkan perbedaan dengan cara tidak menyebutkan nama spesies dalam banyak
kasus, seakan-akan satu contoh saja sudah benar-benar cukup untuk mewakili satu
kelompok hewan secara keseluruhan. Nyatanya, Richardson dan rekan-rekannya mencermati,
bahkan embrio hewan dari jenis-jenis yang erat hubungannya sekali pun, misalnya
ikan, agak berlainan dalam rupa serta jalur perkembangannya. “[Gambar-gambar
Haeckel] ini tampaknya sedang menjadi salah
satu pemalsuan paling terkenal dalam biologi,” Richardson menyimpulkan. 50
Patut dicatat, walaupun pemalsuan Haeckel ini sudah
terungkap tahun 1901, selama hampir satu abad gambar tersebut masih terus
ditampilkan dalam berbagai terbitan evolusionis, seakan-akan merupakan hukum
ilmiah yang sudah terbukti. Dengan mengedepankan ideologi mereka daripada ilmu
pengetahuan, mereka yang menganut keyakinan evolusionis secara tak sadar telah
menyatakan pesan penting: Evolusi bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan dogma
yang terus mereka coba pertahankan, walaupun fakta ilmiah membuktikan
sebaliknya.
9
MENGAPA
ANGGAPAN “KLONING
MEMBUKTIKAN
KEBENARAN EVOLUSI”
ADALAH
SUATU TIPUAN?
Kemajuan ilmiah seperti kloning tak ada kaitannya sama
sekali dengan evolusi. Oleh sebab itu, pertanyaan “apakah kemajuan teknologi
seperti kloning membuktikan kebenaran evolusi?” sebenarnya mengungkapkan adanya
propaganda murahan yang dilakukan kaum evolusionis agar masyarakat menerima
teori ini. Kloning tidak memiliki keterkaitan dengan teori evolusi, karenanya
bukanlah menjadi bidang bahasan evolusionis profesional. Walaupun demikian,
sebagian pendukung fanatik evolusi yang bersedia melakukan apa saja, terutama
dari kalangan media massa, mencoba menjadikan masalah yang sama sekali tidak
berkaitan seperti kloning, sebagai bahan propaganda evolusi.
Apa sebenarnya arti melakukan kloning pada makhluk
hidup?
DNA makhluk hidup yang akan digandakan (dibuat tiruannya),
diambil dari sel tubuh bagian mana saja dari organisme yang dimaksud. DNA
tersebut lalu diletakkan di dalam sel telur makhluk hidup lain dari spesies
yang sama. Segera setelah itu, telur diberikan kejutan (listrik – penerj.)
sehingga telur tersebut langsung mulai membelah diri. Embrio yang dihasilkan
kemudian diletakkan dalam rahim suatu makhluk hidup, tempat di mana embrio
tersebut akan terus membelah diri. Para ilmuwan lalu menantikan perkembangan
dan kelahiran embrio tersebut.
Mengapa kloning tidak memiliki kaitan apa pun dengan
evolusi?
Kloning dan evolusi adalah dua konsep yang amat berbeda.
Teori evolusi dibangun atas dasar anggapan yang menyatakan bahwa materi
tak-hidup berubah menjadi materi hidup secara kebetulan. (Tak ada bukti ilmiah
sedikit pun bahwa hal ini dapat terjadi.) Kloning, sebaliknya, adalah
menghasilkan salinan makhluk hidup dengan menggunakan bahan genetis dari sel
makhluk itu sendiri. Organisme baru itu berasal dari satu sel tunggal. Proses
biologis dipindahkan ke laboratorium dan berulang di sana. Dengan kata lain,
tak ada apa pun dalam proses semacam itu yang terjadi secara kebetulan – yang
merupakan dasar teori evolusi – juga bukan “materi tak-hidup yang menjadi
hidup”.
Proses kloning sama sekali bukanlah bukti evolusi. Namun
sebaliknya, adalah bukti suatu hukum biologi yang sama sekali meniadakan
evolusi. Hukum tersebut adalah kaidah terkenal yang menyatakan bahwa “kehidupan
hanya dapat berasal dari kehidupan”, yang dikemukakan oleh ilmuwan ternama
Louis Pasteur di akhir abad kesembilan belas. Digunakannya kloning sebagai
bukti evolusi, meskipun kenyataan menunjukkan sebaliknya, menunjukkan adanya
penipuan yang dilakukan media massa.
Kemajuan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan selama 30
tahun terakhir menunjukkan kemunculan makhluk hidup tidak bisa dijelaskan
sebagai peristiwa kebetulan. Kesalahan ilmiah evolusionis, serta pernyataan
sepihak, telah didokumentasi dengan baik, dan teori evolusi tidak bisa
dipertahankan dalam lingkup ilmiah. Fakta ini telah memaksa para evolusionis
untuk mencari penyelesaian di bidang lain. Oleh sebab itu dalam beberapa tahun
terakhir, secara fanatik, kemajuan ilmiah seperti kloning dan bayi tabung telah
digunakan sebagai bukti evolusi.
Kaum evolusionis tidak lagi dapat berbicara kepada
masyarakat atas nama ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan mereka berlindung di
balik kesenjangan pemahaman ilmiah yang ada di masyarakat. Mereka berharap cara
ini akan memperpanjang masa berlaku teori evolusi, meskipun hal ini hanya akan
menyebabkan teori ini lebih terpuruk lagi. Seperti halnya kemajuan ilmiah
lainnya, kloning adalah kemajuan ilmiah teramat penting dan menyingkapkan bukti
yang mengungkapkan fakta penciptaan mahluk hidup.
Pemahaman Keliru Lainnya tentang Kloning
Salah paham lain yang
sering terjadi di kalangan orang awam adalah kloning dapat “menciptakan
manusia”. Akan tetapi, kloning tidak dapat diartikan demikian. Kloning
merupakan
penambahan informasi genetis yang telah
tersedia, ke dalam mekanisme reproduksi yang juga telah ada sebelumnya. Dalam
proses ini tidak terjadi penciptaan mekanisme ataupun informasi genetis yang
baru. Informasi genetis diambil dari seseorang yang sudah ada sebelumnya dan
kemudian disisipkan ke dalam rahim seorang wanita.Hal ini menyebabkan anak yang
nantinya dilahirkan merupakan “kembar identik” dari orang yang menjadi sumber
informasi genetisnya.
Banyak orang, yang tidak sepenuhnya memahami kloning,
memiliki gagasan-gagasan yang tidak masuk akal. Sebagai contoh, mereka
membayangkan sebuah sel yang diambil dari seorang lelaki berusia 30 tahun,
dapat menjadi seorang lelaki berusia 30 tahun pula dalam hari yang sama. Hal
semacam ini hanya ada di dalam fiksi ilmiah, dan tidak mungkin, serta takkan
pernah dapat terlaksana. Kloning pada dasarnya adalah menyebabkan lahirnya
seorang “kembar identik” melalui metoda alamiah (dengan kata lain melalui rahim
seorang ibu). Hal ini tidak ada kaitannya dengan teori evoulisi, ataupun dengan
konsep “menciptakan manusia”.
Menciptakan manusia atau makhluk hidup lain – dengan kata
lain, membuat sesuatu yang tadinya tak ada menjadi ada – adalah kekuasaan Allah
semata. Kemajuan ilmiah menegaskan hal ini dengan menunjukkan bahwa penciptaan
tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Hal ini dinyatakan dalam sebuah ayat Al
Qur’an:
Allah
Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu,
maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah" Lalu
jadilah ia. (QS.
Al Baqarah, 2:117)
10
MUNGKINKAH
MAKHLUK HIDUP BERASAL DARI LUAR ANGKASA?
Ketika Darwin pertama kali mengajukan teorinya di
pertengahan abad kesembilan belas, ia tak pernah menyebutkan bagaimana awal
mula makhluk hidup terjadi – atau dengan kata lain, asal usul sel hidup
pertama. Para ilmuwan di awal abad kedua puluh, yang meneliti asal usul makhluk
hidup, mulai menyadari bahwa teori ini tidak absah. Struktur yang kompleks dan
sempurna pada makhluk hidup memberikan kesempatan bagi banyak ilmuwan untuk memahami
kebenaran penciptaan. Perhitungan matematis, percobaan serta pengamatan ilmiah
menunjukkan bahwa makhluk hidup tak mungkin merupakan “hasil kebetulan”,
seperti yang dinyatakan oleh teori
evolusi.
Seiring dengan runtuhnya pernyataan bahwa peristiwa
kebetulan merupakan penyebab terjadinya kehidupan, serta semakin disadarinya
bahwa kehidupan ini “direncanakan”, beberapa ilmuwan mulai mencari asal usul
makhluk hidup di luar angkasa. Ilmuwan paling terkenal yang mencetuskan hal ini
adalah Fred Hoyle dan Chandra Wickramasinghe. Keduanya membuat skenario yang
isinya menyatakan adanya suatu kekuatan yang “menyemai benih” kehidupan di
angkasa.
Menurut skenario ini, benih-benih kehidupan
tersebut dibawa mengarungi kehampaan angkasa oleh awan-awan gas atau debu, atau
mungkin oleh asteroid, dan akhirnya sampai di bumi. Dan makhluk hidup pun
dimulai di sini.
Pemenang Hadiah Nobel, Francis Crick, yang bersama James
Watson menemukan struktur heliks ganda (pilinan ganda) pada DNA, adalah salah
satu dari mereka yang mencari asal usul makhluk hidup di luar angkasa. Crick
sadar bahwa tak mungkin hidup bermula secara kebetulan, tetapi ia menyatakan
bahwa kehidupan di bumi dimulai oleh kekuatan cerdas “yang berasal dari angkasa
luar”.
Seperti telah kita lihat, gagasan bahwa kehidupan berasal
dari luar angkasa telah mempengaruhi ilmuwan-ilmuwan ternama. Masalah ini
bahkan dibahas dalam tulisan dan debat tentang asal usul kehidupan. Pada
dasarnya, gagasan mengenai pencarian kehidupan di angkasa luar dapat dilihat
dari dua sudut pandang.
Pertentangan ilmiah
Kunci pengujian atas pernyataan bahwa “kehidupan bermula di
angkasa luar” terletak dalam
penelitian meteor-meteor yang mencapai Bumi
serta gumpalan gas dan debu di angkasa luar. Hingga saat ini belum ditemukan
bukti akan adanya benda angkasa yang mengandung makhluk luar bumi yang akhirnya
memulai kehidupan di Bumi. Selain itu, hingga saat ini pun belum ada penelitian
yang telah mengungkapkan adanya makromolekul kompleks seperti itu ditemukan
dalam mahluk hidup.
Lebih jauh lagi, zat yang terdapat dalam meteorit tidak
bersifat asimetris, seperti seharusnya makromolekul yang dimiliki oleh makhluk
hidup. Misalnya, secara teoritis, asam amino (bahan dasar penyusun protein;
protein adalah bahan dasar penyusun makhluk hidup) bentuk levo dan dekstro (“isomer
optis”) seharusnya terdapat dalam jumlah yang kurang-lebih setara. Akan tetapi,
dalam protein, hanya terdapat asam amino levo.
Distribusi yang asimetris ini tidak terdapat dalam molekul organik kecil
(molekul berdasar karbon yang terdapat pada makhluk hidup) yang ditemukan dalam
meteorit. Yang terakhir ini terdapat dalam bentuk levo dan dekstro.51
Hal ini bukanlah hambatan terakhir bagi pernyataan bahwa
zat dan benda luar angkasa lah yang memulai kehidupan di Bumi. Mereka yang setuju
dengan pendapat ini harus mampu menjelaskan, mengapa proses seperti itu tidak
terjadi di masa sekarang, padahal Bumi masih dihujani berbagai meteorit hingga
saat ini. Kajian atas meteorit tersebut tidak mengungkapkan “penyemaian benih”
apa pun yang dapat mendukung pendapat ini.
Pertanyaan lainnya adalah: kalaupun memang makhluk hidup
dibentuk oleh sebuah kecerdasan di angkasa luar, yang lalu tiba di Bumi, lalu
bagaimana cara terbentuknya jutaan spesies di Bumi? Inilah permasalahan besar
yang harus dihadapi oleh pendapat ini.
Di samping semua kendala tadi, di alam semesta ini belum
pernah ditemukan jejak peradaban atau makhluk hidup, yang kemungkinan telah
memulai kehidupan di Bumi. Bahkan pengamatan di bidang astronomi, yang telah
mengalami kemajuan sangat pesat selama 30 tahun terakhir ini, tidak memberikan
petunjuk apa pun tentang adanya peradaban seperti itu.
Ada apa di balik pendapat tentang asal usul dari
angkasa luar (ekstra-terestrial)?
Sebagaimana telah kita pahami, teori yang menyatakan bahwa
kehidupan di Bumi bermula dari angkasa luar ini tidak memiliki dasar ilmiah
yang mendukungnya. Tidak ada penemuanpenemuan ilmiah yang membenarkan atau
mendukungnya. Akan tetapi, ketika para ilmuwan yang mengusulkan gagasan ini
mulai melihat ke arah tersebut, mereka melakukannya karena mereka telah
merasakan suatu kebenaran.
Kebenaran itu adalah: sebuah teori yang menyatakan bahwa
makhluk hidup di Bumi tercipta sebagai hasil ketidaksengajaan tidak dapat
dipertahankan lagi. Telah disadari bahwa kerumitan yang tersingkap pada
makhluk-makhluk hidup di Bumi hanya mungkin diciptakan oleh perancangan cerdas.
Nyatanya, bidang-bidang keahlian dari para ilmuwan pencari asal usul kehidupan
di angkasa luar ini menjelaskan penolakan mereka terhadap alur pikir teori
evolusi.
Keduanya adalah ilmuwan kelas dunia: Fred Hoyle adalah ahli
astronomi dan biomatematika, sedangkan Francis Crick adalah ahli biologi
molekuler.
Satu hal penting harus dipertimbangkan adalah para ilmuwan
yang mengacu pada angkasa luar untuk menemukan asal usul kehidupan itu tidak
menghasilkan penjelasan baru tentang masalah tersebut. Ilmuwan seperti Hoyle,
Wickramasinghe, dan Crick, mulai mencari asal usul di luar angkasa karena
mereka sadar bahwa kehidupan tidak mungkin dihasilkan oleh peristiwa kebetulan.
Karena makhluk hidup di Bumi mustahil tercipta secara kebetulan, mereka harus
menerima adanya sumber rancangan cerdas di angkasa luar.
Akan tetapi, teori yang mereka ajukan (berkenaan dengan
asal usul rancangan cerdas ini) bersifat kontradiktif dan tak bermakna. Fisika
dan astronomi modern mengungkapkan bahwa alam semesta ini berasal dari ledakan
besar 12–15 miliar tahun yang silam, yang dikenal dengan nama teori Big Bang atau “Dentuman Besar”. Semua
materi di alam semesta ini berasal dari ledakan itu.
Oleh karena itu, gagasan mencari asal usul
kehidupan dalam makhluk hidup yang berbasis materi di ruang angkasa, harus
disertai penjelasan, bagaimana makhluk hidup itu bisa tercipta. Hal ini berarti
bahwa teori yang diajukan tidaklah memecahkan masalah, tetapi malah mundur
selangkah. (Untuk keterangan terperinci, baca buku Harun Yahya berjudul The Creation of Universe dan Timelessness and the Reality of Fate).
Seperti telah kita lihat, pendapat tentang “kehidupan berasal
dari angkasa luar” tidak
mendukung evolusi, tetapi merupakan
pendapat yang mengungkapkan kemustahilan teori evolusi, dan menerima bahwa
satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah penciptaan melalui rancangan
cerdas. Para ilmuwan yang mendukung pendapat ini, pada awalnya melakukan
analisis yang tepat, tapi lalu menempuh jalur yang salah, sehingga mengambil
langkah konyol untuk mencari asal usul makhluk hidup di angkasa luar.
Jelaslah bahwa gagasan tentang asal mula
kehidupan dari “angkasa luar (ekstra-terestrial)”
tidak dapat menjelaskan asal usul makhluk
hidup. Bahkan, bilapun untuk sekejap kita menerima hipotesa adanya “ekstra-terestrial”
ini, tetaplah jelas bahwa tak mungkin makhluk “ekstra-terestrial”
tersebut tercipta secara kebetulan, tapi merupakan hasil dari rancangan cerdas.
(Hal ini disebabkan karena hukum fisika dan kimia adalah seragam di seluruh
semesta ini, jadi tak mungkin hidup muncul secara kebetulan). Ini menunjukkan
bahwa Tuhan, yang melampaui batas materi dan waktu, dan memiliki kekuasaan,
kebijaksanaan, dan pengetahuan yang tidak terbatas, telah mencipta alam semesta
dan segala sesuatu di dalamnya.
11
MENGAPA TEORI EVOLUSI TIDAK
DIPERKUKUH
OLEH USIA BUMI YANG SUDAH EMPAT MILIAR TAHUN?
Kaum evolusionis mendasarkan skenario mereka pada pengaruh
alam dan kebetulan. Salah satu dari konsep yang paling mereka andalkan dalam
hal ini adalah konsep “waktu yang panjang”.
Sebagai contoh, ilmuwan Jerman, Ernst
Haeckel, yang mendukung Darwin, menyatakan bahwa sebuah sel hidup dapat berasal
dari lumpur biasa. Bersamaan dengan ditemukannya struktur sel hidup yang
teramat rumit di abad ke-20, semakin jelaslah ketidakcerdasan pernyataan
Haeckel itu. Tapi, kaum evolusionis terus-menerus menutupi kebenaran dengan
konsep “waktu yang cukup panjang”.
Dengan cara tersebut, mereka berniat melepaskan diri mereka
sendiri dengan melemparkan masalah ke dalam keraguan, dan bukan menjawab
pertanyaan bagaimana makhluk hidup timbul secara kebetulan. Dengan menampilkan
kesan bahwa berlalunya rentang masa yang panjang dapat menjadi sesuatu yang
menguntungkan dari sudut pandang kemunculan makhluk hidup dan meningkatnya
keanekaragaman, mereka mengemukakan faktor waktu sebagai sesuatu yang selalu
menguntungkan. Sebagai contohnya, profesor evolusionis Turki, Yaman Ors
berkata: “Jika Anda ingin menguji kebenaran teori evolusi, bubuhkan campuran
zat yang tepat ke dalam air, tunggulah beberapa juta tahun, maka anda akan
melihat kemunculan beberapa sel.” 52
Pernyataan itu betul-betul tidak masuk akal. Tak ada bukti
bahwa hal seperti itu dapat terjadi. Munculnya makhluk hidup dari zat tak-hidup
sebenarnya adalah takhayul dari Abad Pertengahan.
Di zaman itu, masyarakat beranggapan bahwa
makhluk hidup muncul secara tiba-tiba, disebut juga sebagai generatio spontanea atau “kemunculan
tiba-tiba yang tanpa disengaja”. Menurut keyakinan masyarakat ini, angsa
berasal dari pepohonan, kambing dari semangka, bahkan berudu berasal dari air
yang terbentuk di awan lalu turun ke bumi sebagai hujan. Di tahun 1600-an,
masyarakat percaya bahwa tikus dapat lahir dari campuran gandum dan sepotong
kain kotor, dan bahwa lalat dapat terbentuk ketika lalat mati dicampur dengan
madu.
Namun, Francesco Redi, ilmuwan Italia, membuktikan bahwa
tikus tidaklah berasal dari campuran gandum dan kain kotor, serta lalat tidak
berasal dari campuran lalat mati dengan madu. Makhluk hidup tidak berasal dari
zat tak-hidup, seperti madu atau kain kotor, melainkan sekadar menjadikan
benda-benda itu sebagai perantara. Misalnya, seekor lalat hidup akan bertelur
pada bangkai lalat, dan tak lama kemudian sejumlah lalat baru pun muncul.
Dengan kata lain, kehidupan berasal dari kehidupan, bukan dari zat atau benda
mati. Di abad ke-19, Louis Pasteur, ilmuwan Prancis, membuktikan bahwa bakteri
tidak berasal dari benda mati. Hukum ini, yaitu “kehidupan hanya berasal dari
kehidupan” adalah salah satu dasar biologi modern.
Mengingat kondisi pada abad ke-17, adanya keyakinan yang
aneh seperti yang telah dibahas di atas dapat kita maklumi karena pengetahuan
para ilmuwan saat itu belumlah memadai. Akan tetapi di zaman kini, saat ilmu
dan teknologi maju pesat, dan berbagai percobaan dan pengamatan menunjukkan
bahwa makhluk hidup mustahil berasal dari zat atau benda mati, amatlah
mengejutkan bila seorang evolusionis seperti Yaman Ors masih juga
mempertahankan pernyataan seperti itu.
Ilmuwan modern telah berulang kali menunjukkan bahwa hal
sedemikian mustahil terjadi. Mereka telah melaksanakan percobaan-percobaan yang
diatur sedemikian rupa, di laboratorium canggih, menirukan kondisi saat makhluk
hidup pertama kali muncul, tapi itu semua sia-sia.
Apabila atom-atom fosfor, kalium, magnesium, oksigen, besi,
dan karbon, yang semuanya penting bagi makhluk hidup, digabungkan, yang timbul
hanyalah gumpalan zat tak-hidup. Akan tetapi, kaum evolusionis menyatakan bahwa
ada sekumpulan atom yang bergabung dan mengatur diri sedemikian rupa, dalam
jangka waktu tertentu, dalam perbandingan paling sesuai, di saat dan tempat
yang tepat, dengan segala kaitan yang diperlukan. Selanjutnya mereka nyatakan
bahwa hasil pengaturan yang tepat dari atom-atom tak hidup tersebut, dan dengan
semua proses yang berlangsung tanpa gangguan, muncullah manusia yang mampu
melihat, mendengar, bicara, merasakan, tertawa, bersuka-cita, menderita,
merasakan perasaan sakit dan suka cita, tertawa, mencintai, berbelas kasih,
manghayati irama musik, menikmati makanan, membangun peradaban, serta melakukan
penelitian ilmiah.
Akan tetapi, sudah jelas bahwa walaupun semua persyaratan
dan kondisi yang ditetapkan para evolusionis dipenuhi, serta berjuta-juta tahun
sudah berlalu, percobaan seperti itu akan gagal.
Para evolusionis mencoba menutupi fakta ini dengan
penjelasan tipuan seperti “Segala hal adalah mungkin dengan berlalunya waktu”.
Ketidakabsan pernyataan ini, yang didasarkan penggunaan “gertak“ di dalam dunia
ilmiah, sangatlah jelas. Ketidakabsahan ini dapat dilihat dengan lebih jelas
bila dilihat dari sudut pandang lain. Dalam sebuah contoh sederhana, mari kita
tinjau faktor waktu dalam keadaan yang menguntungkan dan yang merugikan.
Bayangkanlah sebuah perahu kayu di pantai, beserta seorang kapten yang dari
awal memelihara kapal itu, memperbaiki, membersihkan, mengecatnya. Selama sang
kapten tetap berminat pada kapal tersebut, kapal itu akan tambah menarik, aman
dan terawat.
Lalu, mari kita bayangkan kapal tersebut ditinggalkan. Kali
ini, pengaruh matahari, angin, hujan, pasir dan badai akan menyebabkan kapal
itu rusak, lapuk, dan akhirnya terbuang tanpa guna.
Satu-satunya perbedaan di antara kedua skenario tadi
adalah, pada kasus pertama, ada peristiwa campur-tangan yang cerdas, ahli, dan
sangat berpengaruh. Waktu yang berlalu hanya akan bermanfaat, apabila
dikendalikan oleh sebuah kekuatan yang cerdas. Jika tidak, waktu akan
berpengaruh merusak, dan bukan memperbaiki atau membangun. Hal ini merupakan
sebuah hukum ilmiah. Hukum entropi, yang dikenal sebagai “Hukum Termodinamika
Kedua”, menyatakan bahwa semua sistem di alam semesta ini menuju ke arah
kehancuran, penguraian, dan pembusukan apabila ditinggalkan begitu saja dalam
kondisi alamiah.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa panjangnya umur Bumi
adalah faktor yang menghancurkan pengetahuan serta keteraturan, dan menambah
kekacauan. Jadi amat bertentangan dengan pendapat evolusionis. Munculnya sistem
yang teratur yang didasarkan pada pengetahuan hanya dapat terjadi akibat adanya
keterlibatan yang cerdas.
Pada saat mendongeng
tentang berubahnya satu spesies menjadi spesies lain, para pendukung evolusi
berlindung di balik tameng “semua itu terjadi dalam jangka waktu teramat
panjang”.
Dengan begitu, mereka menyatakan bahwa di
masa lalu berbagai hal tersebut terjadi sedemikian rupa, yang belum pernah
dibuktikan oleh percobaan atau pengamatan mana pun. Walaupun demikian, segala
hal di dunia dan alam semesta berjalan mengikuti hukum yang tetap. Hal ini
tidak berubah seiring berjalannya waktu. Sebagai contoh, benda jatuh ke muka
Bumi akibat gravitasi. Benda tidak akan jatuh ke atas dengan berjalannya waktu,
bahkan dalam waktu bertriliun-triliun tahun sekalipun. Anak kadal tetaplah
kadal. Hal ini terjadi karena informasi genetis yang diturunkan adalah selalu
informasi kadal, dan secara alami tidak ada informasi tambahan yang bisa
ditambahkan. Informasi dapat berkurang ataupun musnah, tetapi sungguh mustahil
sesuatu apa pun dapat ditambahkan. Ini disebabkan penambahan informasi ke dalam
sebuah sistem membutuhkan keterlibatan dan kendali dari luar yang
berpengetahuan dan cerdas. Alam sendiri tidak memiliki sifat-sifat seperti itu.
Pengulangan yang terjadi dengan berjalannya waktu, dan
fakta bahwa hal ini sering terjadi, tidaklah mengubah apa pun. Sekalipun
bertriliun-triliun tahun sudah berlalu, seekor burung tidak akan menetas dari
telur kadal. Seekor kadal berukuran panjang, atau yang pendek – yang kuat
ataupun yang lemah – akan selalu berupa kadal. Spesies yang berbeda tidak akan
muncul darinya. Konsep “waktu yang sangat panjang“ merupakan sebuah tipuan yang
bertujuan untuk mengeluarkan permasalahan ini dari luar lingkup percobaan dan
pengamatan. Tidak ada bedanya antara 4, 40 atau 400 miliar tahun berlalu. Sebab
tidak ada hukum ataupun kecenderungan alamiah yang dapat merubah
kemustahilan-kemustahilan sebagaimana yang dipaparkan dalam teori evolusi
menjadi hal yang benar-benar mungkin.
12
MENGAPA
GIGI GERAHAM BUNGSU BUKANLAH BUKTI KEBENARAN EVOLUSI?
Salah satu tipuan penting dari teori evolusi adalah
pernyataan yang berkaitan dengan organ vestigial (organ persisaan). Evolusionis
menyatakan bahwa terdapat sejumlah organ dalam makhluk hidup yang kehilangan
fungsinya seiring dengan waktu, dan kemudian lenyap. Dengan berpedoman pada hal
ini, kaum evolusionis mencoba mengirimkan pesan, “Jika tubuh makhluk hidup
adalah hasil penciptaan, maka seharusnya di dalamnya tidak terdapat organ yang
tak berfungsi”.
Naskah terbitan kaum evolusionis di awal abad ke-20
menyatakan bahwa tubuh manusia memiliki sekitar seratus buah organ yang sudah
tidak berguna lagi. Di antaranya adalah usus buntu, tulang ekor, amandel,
kelenjar pineal, telinga bagian luar, kelenjar timus, dan geraham bungsu. Akan
tetapi, ilmu kedokteran telah mencapai kemajuan pesat dalam beberapa dasawarsa
setelah itu. Akibatnya, tampaklah bahwa gagasan organ vestigial hanyalah
takhayul. Daftar panjang buatan kaum evolusionis pun berkurang secara tajam.
Kelenjar timus ternyata adalah organ yang menghasilkan sel sistem kekebalan
yang penting, dan kelenjar pineal berfungsi menghasilkan hormon-hormon penting.
Terungkap pula bahwa tulang ekor berfungsi untuk menopang tulangtulang sekitar
pinggul, dan telinga bagian luar berfungsi penting dalam mengenali dari arah
mana bebunyian berasal. Singkat kata, terungkap bahwa ketidaktahuan adalah
satu-satunya pijakan yang menopang gagasan tentang “organ vestigial”.
Ilmu pengetahuan modern telah berulang kali menunjukkan
bahwa konsep organ semacam itu adalah keliru. Namun, sebagian kaum evolusionis
masih memanfaatkan pernyataan ini. Walaupun ilmu kedokteran telah membuktikan
bahwa hampir semua organ itu (yang tadinya disebut-sebut sebagai “vestigial”)
ternyata memiliki fungsinya masing-masing, dugaan evolusi yang tidak berdasar
masih menyelimuti satu atau dua organ.
Salah satu yang paling menonjol adalah geraham bungsu.
Dalam naskah evolusionis masih tercantum anggapan bahwa gigi ini adalah bagian
tubuh manusia yang telah kehilangan semua fungsinya. Sebagai buktinya, kaum
evolusionis menyatakan bahwa gigi-gigi geraham bungsu ini memunculkan masalah
pada sebagian besar orang, dan proses mengunyah tidak terganggu ketika
gigi-gigi tersebut dicabut.
Banyak dokter gigi, karena terpengaruh pernyataan
evolusionis bahwa gigi bungsu tidak berfungsi, telah berpandangan bahwa
pencabutan gigi bungsu sesuatu yang biasa, dan mereka tidak melakukan usaha
pemeliharaan yang sama padanya seperti pada gigi yang lain.53 Akan
tetapi penelitian di tahun-tahun terakhir menunjukkan, gigi bungsu memiliki
fungsi mengunyah, sama seperti gigi lain. Selain itu, penelitian menunjukkan
bahwa anggapan “gigi bungsu mengganggu posisi gigi lain” adalah sama sekali tak
beralasan.54 Sekarang ini kritik ilmiah, tentang bagaimana masalah
gigi bungsu ini bisa diatasi bukan dengan cara pencabutan, semakin meningkat.55
Faktanya, kesepakatan ilmiah menyatakan bahwa gigi geraham bungsu berfungsi
mengunyah, sama dengan gigi lain, dan tidak ada pembenaran ilmiah yang
mendukung keyakinan bahwa gigi geraham bungsu tidak memiliki kegunaan.
Jadi, mengapa gigi geraham bungsu menimbulkan gangguan pada
banyak orang? Berdasarkan penelitian para ahli di bidang ini, permasalahan gigi
bungsu di masyarakat terjadi secara berbeda-beda, tergantung zaman. Kini
diketahui bahwa gangguan gigi bungsu jarang terdapat di masyarakat pra-industri.
Khususnya selama beberapa ratus tahun terakhir ini, manusia lebih menyukai
makanan lunak daripada yang keras, sehingga pertumbuhan rahang manusia pun
terganggu. Akhirnya diketahui, ternyata masalah gigi bungsu berasal dari
gangguan pertumbuhan rahang akibat pola makan.
Diketahui pula, ternyata perilaku makan masyarakat juga
berpengaruh buruk pada gigi lainnya. Sebagai contoh, meningkatnya konsumsi
makanan dengan kadar gula dan asam yang tinggi telah meningkatkan kerusakan
gigi. Tapi, fakta itu tidak menjadikan kita berpikir bahwa semua gigi kita
mengalami “atrofi” (pengecilan atau penyusutan). Hal yang sama juga berlaku
pada gigi geraham bungsu. Masalah pada gigi geraham bungsu berasal dari
kebiasaan makan, bukan dari “atrofi” evolusioner apa pun.
13
BAGAIMANAKAH
TEORI EVOLUSI DIRUNTUHKAN OLEH STRUKTUR YANG KOMPLEKS PADA MAKHLUK PALING
PURBA?
Dalam catatan fosil, makhluk hidup membentuk untaian atau
rantai. Bila kita perhatikan rantai ini dari makhluk paling purba sampai yang
paling muda, tampaklah bahwa makhluk hidup muncul dalam bentuk mikroorganisme,
hewan laut tak bertulang belakang (invertebrata), ikan, amfibi, reptil, unggas,
dan mamalia. Pendukung teori evolusi membahas rantai ini dengan penuh praduga,
sambil berupaya menyajikannya sebagai bukti teori evolusi. Mereka menyatakan
bahwa makhluk hidup berkembang dari bentuk sederhana menuju bentuk yang lebih
kompleks, dan selama proses ini berlangsung, beraneka ragam makhluk hidup pun
tercipta. Misalnya, para evolusionis mengemukakan, fakta tidak ditemukannya
fosil manusia pada pengkajian terhadap lapisan fosil berusia 300 juta tahun
merupakan salah satu bukti kebenaran evolusi. Profesor Aykut Kence, seorang
evolusionis Turki, berkata:
Anda ingin menggugurkan teori evolusi? Jika demikian,
pergilah dan cari beberapa fosil manusia dari zaman Kambrium! Siapa pun yang
berhasil menemukannya akan meruntuhkan teori evolusi, bahkan memenangkan hadiah
Nobel atas penemuannya.56
Perkembangan makhluk hidup dari bentuk sederhana (primitif) ke bentuk
rumit (kompleks) adalah pemikiran khayal
Mari kita bayangkan cara berpikir evolusionis yang terdapat
dalam kata-kata Profesor Kence. Perkembangan makhluk hidup dari bentuk primitif
ke bentuk kompleks adalah praduga evolusionis yang tak benar sedikit pun.
Profesor biologi asal Amerika, Frank L. Marsh, yang mengkaji pernyataan kaum
evolusionis, dalam bukunya Variation and
Fixity in Nature menyatakan makhluk
hidup tak dapat disusun dalam sebuah urutan yang senantiasa bersambung tanpa
putus dari bentuk sederhana ke bentuk rumit.57
Dalam hal ini, pernyataan evolusionis sebenarnya dapat
diruntuhkan oleh fakta kemunculan mendadak dari hampir seluruh filum hewan yang
dikenal sekarang di Zaman Kambrium. Bahkan, semua hewan yang muncul secara
tiba-tiba tersebut sudah memiliki struktur tubuh yang rumit, tidak sederhana –
hal ini benar-benar berlawanan dengan asumsi evolusionis.
Trilobita yang termasuk filum Arthropoda, adalah makhluk
sangat rumit dengan cangkang keras, memiliki tubuh yang bersendi, dan
organ-organ kompleks.. Catatan fosil telah memungkinkan pengkajian yang sangat
terperinci terhadap mata trilobita. Mata trilobita terdiri atas beratus-ratus
faset kecil, yang masing-masing terdiri atas dua lapisan lensa. Struktur mata
ini adalah keajaiban nyata perancangan. David Raup, profesor geologi di
Universitas Harvard, Rochester, dan Chicago, berkata, “Trilobita yang hidup 450
juta tahun yang silam telah memiliki rancangan optimal yang di zaman kini
memerlukan insinyur optik yang terlatih baik dan imajinatif untuk
mengembangkannya.” 58
Sisi menarik lainnya di seputar bahasan ini adalah, lalat
di zaman sekarang memiliki struktur mata yang serupa. Dengan kata lain,
struktur demikian itu sudah ada selama 520 juta tahun terakhir ini.
Pemandangan luar biasa tentang Zaman Kambrium sangat sedikit
diketahui di saat Darwin menulis The
Origin of Species. Setelah masa Darwin, barulah orang tahu, bahwa menurut
catatan fosil, makhluk hidup muncul dengan seketika di Zaman Kambrium, dan
trilobita serta hewan invertebrata lain hadir di muka bumi secara bersamaan.
Dalam bukunya, Darwin tak mampu membahas sepenuhnya mengenai hal ini. Namun, ia
memang membahas sedikit tentang itu dalam bab berjudul “On the sudden
appearance of groups of allied species in the lowest known fossiliferous
strata“ (Timbulnya secara serentak kelompok-kelompok spesies yang saling
terkait dalam lapisan fosil terendah yang diketahui), ia menulis di sini
tentang Zaman Silur (di masa Darwin, zaman ini mencakup pula zaman yang kini
kita sebut Kambrium):
Misalnya, saya tidak dapat meragukan bahwa semua trilobita
zaman Silur merupakan keturunan yang berasal dari sejenis hewan krustasea
(bangsa udang), yang tentunya telah hidup jauh sebelum Zaman Silur, dan mungkin
jauh berbeda dari hewan mana pun yang telah dikenal …
Karena itu, jika teori saya benar, tak pelak lagi bahwa jauh sebelum lapisan
Silur paling bawah terbentuk, waktu yang amat panjang telah berlalu, mungkin
sama atau jauh lebih panjang daripada selang waktu antara zaman Silur dengan
masa kini; dan selama rentang masa yang sungguh panjang ini, namun belum banyak
dikenal, dunia ini dipenuhi makhluk hidup. Saya tak mampu memberi jawaban yang
memuaskan atas pertanyaan mengapa kita tidak menemukan bekas-bekas dari zaman
purba yang sungguh panjang ini.59
Darwin berkata, “Jika
teori saya benar, tak pelak lagi bahwa dunia ini dipenuhi makhluk hidup sebelum
Zaman Silur.” Untuk menjawab pertanyaan, mengapa tidak terdapat fosil
makhlukmakhluk itu, ia mencoba menjawab di sepanjang bukunya, dengan
menggunakan alasan “catatan fosil yang sangat terbatas”. Tapi kini, catatan
fosil sudah lengkap, dan menunjukkan bahwa makhluk Zaman Kambrium tak memiliki
nenek moyang. Artinya, kita harus menolak kalimat Darwin yang diawali dengan “…
jika teori saya benar”. Hipotesa Darwin tidak absah; karena itu,
teorinya salah.
Makhluk hidup tidak berkembang dari bentuk sederhana ke
bentuk yang kompleks. Pada saat pertama kali muncul, makhluk hidup sudah
teramat kompleks. Contoh lain dari hal ini adalah ikan hiu, yang menurut
catatan fosil sudah ada sejak sekitar 4000 juta tahun yang lalu. Hewan ini
memiliki berbagai ciri istimewa yang tidak dimiliki hewan lain yang tercipta
jutaan tahun setelahnya, misalnya pertumbuhan gigi (regenerasi) setelah gigi
yang lama tanggal. Contoh lainnya adalah kemiripan yang mengejutkan antara mata
mamalia dan gurita yang telah hidup di Bumi berjuta-juta tahun sebelum mamalia.
Contoh-contoh tersebut memperjelas bahwa spesies makhluk
hidup tidak dapat disusun berurutan secara baik dari bentuk primitif ke bentuk
kompleks.
Fakta itu juga ditampilkan oleh hasil penelitian terhadap
segi bentuk, fungsi, dan genetika makhluk hidup. Misalnya, bila kita cermati
catatan fosil pada tingkat terendah, dilihat dari segi bentuk dan ukuran,
tampak bahwa banyak makhluk (misalnya dinosaurus) yang berukuran jauh lebih
besar daripada yang muncul kemudian.
Demikian juga bila kita cermati dari segi fungsional
makhluk hidup. Pada perkembangan struktur, telinga adalah contoh yang
meruntuhkan pendapat “makhluk hidup berkembang dari bentuk primitif menuju
kompleks”. Hewan amfibi memiliki rongga telinga-tengah. Akan tetapi reptil,
yang muncul sesudah amfibi, mempunyai sistem yang jauh lebih sederhana. Pada
reptil, sistem ini berdasarkan satu tulang kecil saja, tanpa ruang
telinga-tengah.
Kajian genetika menunjukkan hasil serupa. Berbagai
penelitian telah menunjukkan bahwa jumlah kromosom tak ada kaitannya dengan
kompleksitas tubuh hewan. Misalnya, manusia memiliki 46 buah kromosom, kopepoda
memiliki 6 buah, dan radiolaria (hewan yang berukuran mikroskopis) memiliki tepat
800 buah.
Makhluk hidup diciptakan pada saat yang paling “sesuai”
baginya
Penelitian catatan fosil sesungguhnya menunjukkan, makhluk
hidup muncul di masa yang paling cocok baginya. Tuhan telah menciptakan makhluk
hidup secara luar biasa. Makhluk hidup diciptakan tepat sesuai dengan keadaan
yang akan dihadapinya saat muncul di Bumi.
Mari kita lihat contoh berikut ini: Bumi di kala fosil
bakteri tertua muncul, yakni sekitar 3,5 miliar tahun yang silam. Kondisi suhu
dan atmosfer waktu itu sama sekali tidak cocok untuk mendukung kehidupan
makhluk berstruktur kompleks ataupun manusia. Demikian juga zaman Kambrium,
yang menurut Kence, apabila ditemukan fosil manusia pada masa itu, teori
evolusi akan runtuh. Periode ini, sekitar 530 juta tahun silam, benar-benar tak
cocok bagi manusia. (Saat itu tak ada hewan di darat).
Keadaan serupa juga tampak pada hampir seluruh zaman
sesudahnya. Penelitian catatan fosil menunjukkan bahwa kondisi yang dapat
mendukung kehidupan manusia baru tercapai beberapa juta tahun yang silam. Hal
yang sama ini berlaku pula pada seluruh makhluk hidup lainnya. Setiap kelompok
makhluk hidup muncul apabila kondisi yang mendukung bagi kehidupannya telah
tercapai, dengan kata lain, “bila waktunya sudah tepat”.
Kaum evolusionis
menentang fakta ini sekuat tenaga. Mereka mengatakan bahwa kondisi pendukung
itu sendirilah yang telah memunculkan makhluk hidup. Padahal, terciptanya
“kondisi pendukung” hanyalah tanda bahwa “saat yang tepat telah tiba”. Makhluk
hidup hanya dapat muncul
melalui sebuah campur tangan yang memiliki
kesadaran – dengan kata lain, melalui penciptaan oleh kekuatan hebat di luar
alam.
Karena itu, munculnya makhluk hidup secara bertahap
bukanlah bukti evolusi, melainkan bukti kebijaksanaan dan pengetahuan Tuhan
yang tak terhingga, Yang menciptakan makhluk hidup. Setiap kelompok makhluk
hidup diciptakan untuk menyiapkan kondisi yang sesuai bagi kemunculan kelompok
makhluk hidup berikutnya. Dan bagi kita, keseimbangan ekologis dengan seluruh
makhluk hidup disiapkan terlebih dahulu dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Di lain pihak, kita
harus ingat bahwa periode panjang itu hanya dirasakan “panjang” oleh kita. Bagi
Tuhan, itu hanyalah “sesaat” saja. Konsep waktu hanya berlaku bagi makhluk,
bukan Pencipta. Tuhan, Pencipta waktu itu sendiri, tidaklah terikat oleh waktu.
(Lihat lebih jauh dalam buku Harun Yahya: Timelessness
and the Reality of Fate)
Jika kaum evolusionis hendak menunjukkan bahwa satu spesies
berubah menjadi spesies lain, tak ada gunanya berkata bahwa makhluk hidup
muncul di Bumi selangkah demi selangkah. Bukti yang harus mereka kemukakan
adalah fosil makhluk peralihan yang menghubungkan antarspesies makhluk hidup
yang berbeda ini. Teori yang menyatakan bahwa invertebrata berubah menjadi
ikan, ikan menjadi reptil, reptil menjadi burung dan mamalia, harus didukung
fosil sebagai buktinya. Darwin sadar akan hal itu dan menuliskan bahwa fosil
semacam ini harus ditemukan dalam jumlah tak terhitung banyaknya, walaupun
sejauh ini tidak pernah ditemukan satu pun. Selama 150 tahun setelah teori
Darwin diajukan, fosil makhluk peralihan belum pernah ditemukan. Seperti yang
diakui oleh Derek W. Ager, seorang evolusionis ahli paleontologi, catatan fosil
menunjukkan “bukan evolusi bertahap,
melainkan sebuah ledakan tiba-tiba sekelompok makhluk hidup di atas kepunahan
kelompok yang lain.”60
Sebagai kesimpulan, sejarah kehidupan menunjukkan bahwa
makhluk hidup muncul bukan sebagai hasil peristiwa kebetulan, melainkan
diciptakan tahap demi tahap, dalam periode yang amat panjang. Ini amat sesuai
dengan keterangan tentang penciptaan dalam Al Qur’an, yang di dalamnya Tuhan
berfirman bahwa Dia menciptakan alam semesta dan semua makhluk hidup dalam
“enam hari”:
Allah-lah
yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam
masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain
daripada-Nya seorang penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at.
Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. As Sajdah, 32:4)
Kata “hari” dalam ayat itu, atau yawm dalam bahasa Arab, juga berarti selang waktu yang panjang.
Dengan kata lain, Al Qur’an menyebutkan bahwa kehidupan diciptakan dalam
beberapa masa yang berbeda, tidak sekaligus. Penemuan di bidang geologi di
zaman modern memberikan gambaran yang menegaskan hal ini.
14
MENGAPA MENYANGKAL TEORI EVOLUSI
DISAMAKAN
DENGAN MENOLAK PERKEMBANGAN DAN KEMAJUAN?
Kata “evolusi” akhir-akhir ini sering digunakan dalam
beberapa makna. Di antaranya, kini ada penambahan aspek sosial, sehingga,
sekarang “evolusi” juga bisa berarti kemajuan umat manusia dan perkembangan
teknologi. Tak ada yang salah dengan konsep “evolusi” bila digunakan dalam
makna tersebut. Tak diragukan, umat manusia akan menggunakan kecerdasan,
kepandaian, dan kekuatannya untuk berkembang, seiring berjalannya waktu. Dari
generasi ke generasi, pengetahuan umat manusia semakin berkembang. Dengan cara
yang sama, hal ini tidak membuktikan kebenaran teori evolusi itu sendiri – yang
mengatakan bahwa makhluk hidup tercipta secara kebetulan – dan juga tidak
sedikit pun bertentangan dengan kebenaran fakta penciptaan.
Akan tetapi, kaum evolusionis mempermainkan arti kata ini.
Konsep yang benar, dikacaukan dengan konsep yang palsu. Sebagai contoh,
pernyataan “Dalam perjalanan panjang umat manusia, sebagai makhluk sosial,
pengetahuan, budaya, dan teknologi yang dihasilkan, manusia selalu tetap
berkembang” adalah benar. (Walaupun demikian, kita harus ingat bahwa seiring
dengan waktu,
yang dapat terjadi bukan saja kemajuan,
melainkan juga kemunduran. Dari sudut sosiologi, ada masa-masa
kemajuan, keterhentian, dan kemunduran). Akan tetapi, pernyataan “Makhluk hidup
berkembang dan berubah dengan berlalunya waktu, seperti halnya manusia telah
mengalami perkembangan dan kemajuan” adalah salah. Sebagai makhluk berpikir,
pengetahuan manusia meningkat dan diwariskan turun-temurun, sehingga
terus-menerus tercapai kemajuan; ini adalah masuk akal dan ilmiah. Akan tetapi,
sama sekali tidak masuk di akal apabila dikatakan bahwa makhluk hidup
berkembang dan berevolusi melalui ketidaksengajaan dan kebetulan, dengan
mengikuti kehendak kondisi-kondisi alamiah yang tidak terkendali dan tanpa
kesadaran.
Semua ilmuwan terbesar dalam kemajuan ilmiah adalah penganut fakta
penciptaan (kreasionis)
Tak menjadi soal, betapapun keras upaya kaum evolusionis
dalam menampilkan diri mereka sebagai pemuncul gagasan seperti inovasi
(pembaruan) dan kemajuan, sejarah telah membuktikan bahwa pencetus yang
sebenarnya dari inovasi dan kemajuan adalah selalu para ilmuwan beriman yang
meyakini penciptaan oleh Tuhan.
Kita dapat menyaksikan adanya ilmuwan yang beriman di
setiap titik kemajuan ilmiah. Leonardo
da Vinci, Copernicus, Kepler, dan Galileo, yang memulai era baru dalam ilmu astronomi, Cuvier, pendiri paleontologi, Linnaeus, pendiri sistem penggolongan
modern untuk flora dan fauna, Isaac
Newton, penemu hukum gravitasi, Edwin
Hubble, yang menemukan adanya galaksi dan pemuaian alam semesta, serta
banyak lagi, dan banyak lainnya yang meyakini Tuhan dan percaya bahwa alam
semesta dan makhluk hidup adalah ciptaanNya.
Salah satu ilmuwan
terbesar di abad kedua puluh, Albert
Einstein, berkata:
Saya
tak dapat membayangkan seorang ilmuwan sejati tanpa keimanan yang kuat.
Situasi ini dapat dilukiskan sebagai: Ilmu tanpa agama adalah lumpuh…61
Max Planck, pendiri fisika modern berkebangsaan Jerman, berkata:
Siapa pun yang secara sungguh-sungguh telah terlibat dalam
kerja ilmiah jenis apa pun juga, akan sadar bahwa di atas pintu gerbang
memasuki kuil ilmu pengetahuan tertera kalimat: Engkau harus beriman. Ini adalah sifat yang tak dapat dilepaskan
dari seorang ilmuwan.62
Sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa perubahan dan
kemajuan adalah hasil karya para ilmuwan yang berpaham kreasionis (meyakini
penciptaan). Selain itu, tentu saja, berbagai kemajuan dalam ilmu pengetahuan
di abad ke-20 dan ke-21 telah secara khusus menyajikan bukti yang amat banyak
atas kebenaran fakta penciptaan. Teknologi dan ilmu pengetahuan modern telah
memungkinkan kita untuk menemukan fakta bahwa alam semesta tercipta dari
ketiadaan, dengan kata lain, “diciptakan”. Segenap dunia ilmiah sepakat bahwa
alam semesta tercipta dan berkembang sebagai akibat sebuah ledakan titik
tunggal. Dengan demikian, hancurlah sudah model alam semesta “tak hingga”, yang
tidak memiliki awal ataupun akhir, yang diyakini oleh kaum materialis karena
kondisi ilmu pengetahuan yang masih terbelakang di abad ke-19. Kini disadari
bahwa alam semesta diciptakan, seperti tercantum dalam Al Qur’an, dan alam
memiliki awal dan batasan serta mengembang seiring dengan waktu. Al Qur’an
menyatakan fakta ini sebagai berikut:
Dan
apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka
tiada juga beriman? (QS. Al Anbiyaa’ , 21:30)
Dan
langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benarbenar
meluaskannya. (QS. Adz Dzaariyaat, 51:47)
Lagi-lagi, kemajuan ilmiah di abad ke-20 lah yang
memungkinkan kita menemukan semakin banyak bukti penciptaan. Mikroskop elektron
mengungkapkan struktur sel, satuan terkecil pembentuk makhluk hidup, beserta
bagian-bagiannya. Penemuan DNA menunjukkan kecerdasan dan pengetahuan yang
tidak terhingga yang terdapat di dalam sel. Kemajuan ilmu biokimia dan
fisiologi menunjukkan cara kerja sempurna di tingkat molekul pada tubuh, serta
rancangan yang amat hebat, yang tak mungkin dapat dijelaskan dengan apa pun
selain penciptaan.
Bertolak belakang dari semua itu, adalah keterbelakangan
ilmu pengetahuan 150 tahun yang lalu yang menyediakan lahan subur bagi
tumbuhnya teori evolusi.
Sebagai kesimpulan, adalah mustahil menganggap mereka yang
meyakini penciptaan dan terus menghadirkan berbagai bukti baru tentang
penciptaan ini sebagai kaum yang menolak kemajuan, perkembangan, dan ilmu
pengetahuan. Sebaliknya, mereka itulah pendukung terbesar bagi ketiga hal
tersebut. Mereka yang sesungguhnya menolak kemajuan adalah mereka yang menutup
mata terhadap semua bukti ilmiah yang sudah ada serta terus mempertahankan
teori evolusi, yang sebenarnya tak lain hanya merupakan angan kosong.
15
MENGAPA BERPIKIR BAHWA TUHAN
MENCIPTAKAN
MAKHLUK HIDUP MELALUI PROSES EVOLUSI ADALAH SALAH?
Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa rancangan menakjubkan
yang tampak di seluruh makhluk hidup dan benda mati di alam semesta ini
tidaklah mungkin muncul menjadi ada akibat kekuatan alamiah buta dan
ketidaksengajaan. Meskipun demikian, sebagian orang menyatakan, memang benar
bahwa terdapat sang Pencipta, tetapi Dia menciptakan kehidupan melalui proses
evolusi.
Sudah sangat jelas bahwa Tuhan Yang Mahakuasa telah
mencipta seluruh alam semesta dan makhluk hidup. Adalah keputusanNya untuk
mencipta secara seketika ataupun bertahap. Kita hanya dapat memahami
kejadiannya melalui informasi yang Tuhan berikan kepada kita (dengan kata lain,
melalui ayat Al Qur’an), serta melalui bukti ilmiah yang tampak jelas di alam
ini.
Jika
mencermati kedua sumber tersebut, kita tidak menyaksikan adanya peristiwa
“penciptaan melalui evolusi”.
Tuhan telah menurunkan berbagai ayat dalam Al Qur’an yang
membahas tentang penciptaan
manusia, kehidupan, dan alam semesta. Tak
satu pun di antara ayat tersebut yang berisi keterangan tentang penciptaan
melalui evolusi. Dengan kata lain, tak satu pun ayat yang berkata bahwa makhluk
hidup tercipta akibat proses evolusi dari satu makhluk menjadi makhluk lain.
Sebaliknya, diungkapkan dalam ayat-ayat itu, bahwa kehidupan dan jagat raya ini
tercipta melalui perintah Tuhan: “Jadilah!”
Penemuan ilmiah pun telah
memperlihatkan bahwa penciptaan melalui proses evolusi adalah mustahil. Catatan
fosil menunjukkan bahwa beraneka ragam spesies muncul bukan melalui evolusi
satu dari yang lainnya, melainkan secara terpisah, secara tiba-tiba, serta
dilengkapi dengan seluruh struktur mereka masing-masing yang khas. Dengan kata
lain, penciptaan bagi setiap spesies adalah berbeda.
Jika terdapat sesuatu seperti “penciptaan melalui evolusi”,
kita sudah seharusnya dapat
melihat buktinya saat ini. Tuhan telah
menciptakan segala sesuatu menurut peraturan tertentu, di dalam kerangka hukum
sebab-akibat. Misalnya, sudah pasti Tuhan yang menjadikan kapal dapat terapung
di air. Akan tetapi, apabila kita mempelajari penyebabnya, kita akan memahami
bahwa penyebabnya adalah diciptakannya pada air kekuatan yang menopang kapal.
Tidak ada sesuatu pun kecuali kekuatan Tuhan yang memungkinkan burung dapat
terbang. Akan tetapi, bila kita mempelajari bagaimana ini terjadi, kita akan
menemukan adanya hukum aerodinamika. Oleh sebab itulah, jika makhluk hidup
memang diciptakan melalui proses bertahap, maka seharusnya terdapat sistem yang
dilengkapi hukum-hukum dan kemajuan-kemajuan di bidang genetika, yang dapat
menjelaskan peristiwa tersebut. Lebih lanjut, kita akan mengenal adanya hukum
biologi, kimia dan fisika yang lain. Akan terdapat bukti dari penelitian
laboratorium yang menunjukkan bahwa satu makhluk hidup dapat berubah menjadi
makhluk lain. Selain itu, dari berbagai riset tersebut, dimungkinkan
pengembangan enzim, hormon, dan molekul sejenis yang tak dimiliki suatu
spesies, agar spesies tersebut dapat memanfaatkannya. Tambahan lagi, kemajuan
tersebut akan memungkinkan diciptakannya berbagai struktur dan organel baru
yang belum pernah dimiliki spesies itu.
Kajian-kajian laboratorium akan mampu menunjukkan contoh-contoh
makhluk yang telah melalui proses mutasi, serta memperoleh manfaat dari proses
tersebut. Kita juga akan mampu melihat mutasi itu diwariskan kepada generasi
berikutnya, serta benar-benar menjadi bagian dari spesies. Selain itu pula,
akan terdapat jutaan fosil makhluk peralihan dari masa silam, dan di masa kini
akan ada makhluk hidup yang tahapan transisinya belum selesai. Pendek kata,
seharusnya terdapat berbagai contoh proses seperti ini, yang tak terhitung
banyaknya.
Akan tetapi, tak ada satu pun bukti bahwa satu spesies
dapat melakukan perubahan menjadi spesies lainnya. Seperti telah kita lihat,
data fosil menunjukkan bahwa semua spesies makhluk hidup muncul secara
tiba-tiba tanpa nenek moyang. Fakta ini, selain menghancurkan teori evolusi
(yang menyatakan kehidupan muncul berdasarkan peristiwa kebetulan), juga
menunjukkan ketidakabsahan pendapat bahwa Tuhan menciptakan makhluk hidup, dan
kemudian makhluk tersebut berubah melalui proses.
Tuhan menciptakan makhluk hidup secara supernatural,
melalui satu perintah “Jadilah!” Ilmu pengetahuan modern menegaskan fakta ini,
dan membuktikan bahwa makhluk hidup muncul secara tiba-tiba di Bumi.
Para pendukung gagasan
“Mungkin saja Tuhan menciptakan makhluk hidup di Bumi melalui proses evolusi”
sebenarnya sedang mencoba membangun “titik temu” antara penciptaan dan
Darwinisme. Akan tetapi ini adalah suatu
kesalahan yang mendasar. Mereka tidak menyadari dasar logika Darwinisme dan
filsafat yang dijunjungnya. Darwinisme bukanlah terdiri atas gagasan perubahan
spesies. Sebenarnya, Darwinisme adalah suatu upaya untuk menjelaskan asal-usul
makhluk melalui penyebab-penyebab yang bersifat materi belaka. Dengan kata
lain, Darwinisme berupaya agar masyarakat menerima pendapat bahwa makhluk hidup
adalah hasil kerja alam, dan melapisi pendapat itu dengan polesan ilmiah. Tak
mungkin ada “titik temu” atau “satu landasan pijak bersama” antara filsafat
naturalistik (ajaran yang tidak mengakui adanya kekuatan lain selain
alam) dengan keyakinan kepada Tuhan. Adalah
salah apabila kita berusaha mencari titik temu seperti itu, bersikap menyerah
kepada Darwinisme, dan menganggapnya sebagai teori ilmiah. Seperti tampak dari
150 tahun sejarah teori ini, Darwinisme adalah tulang punggung filsafat
materialistis dan ateisme. Pencarian titik temu tidak akan pernah dapat
mengubah fakta ini.
16
MENGAPA ANGGAPAN “DI MASA
DEPAN KEBENARAN TEORI EVOLUSI AKAN TERBUKI” ADALAH SALAH?
Ketika mereka sudah
tersudut, ada di antara para pendukung teori evolusi yang mengandalkan kata-kata:
“Bahkan kalau pun penemuan ilmiah masa kini tidak menegaskan kebenaran evolusi,
teori ini akan terbukti dengan perkembangan ilmu yang terjadi di masa yang akan
datang.”
Ini adalah titik awal pengakuan kekalahan
kaum evolusionis di arena ilmiah. Bila kita membaca yang tersirat, maka kita
akan mendapatkan: “Ya, kami, para
pendukung evolusi, mengakui bahwa berbagai penemuan di bidang ilmiah tidak
mendukung teori kami. Oleh sebab itulah, tidak ada alternatif lain bagi kami
selain menunda perihal ini ke masa depan.”
Akan tetapi, ilmu pengetahuan tidak bekerja dengan cara
berpikir seperti demikian. Seorang ilmuwan seharusnya tidak lebih dahulu
meyakini sebuah teori secara buta, sambil berharap, suatu saat nanti, bukti
atas kebenaran teori itu akan muncul. Ilmu pengetahuan memeriksa semua bukti
yang ada, lalu menyimpulkannya. Karena itu, para ilmuwan seharusnya menerima
adanya fakta “rancangan”, atau dengan kata lain fakta penciptaan, yang telah
dibuktikan secara ilmiah.
Akan tetapi, propaganda dan bujukan evolusionis masih mampu
mempengaruhi orang, terutama yang tidak begitu paham tentang teori ini. Oleh
sebab itu, ada baiknya bila ketiga pertanyaan berikut ini dijawab secara
lengkap dan jelas:
Kita dapat menguji
keabsahan teori evolusi dengan tiga pertanyaan dasar:
1.
Bagaimana sel hidup pertama muncul?
2.
Bagaimana satu spesies dapat berubah menjadi
spesies lain?
3.
Adakah bukti dalam catatan fosil bahwa makhluk
hidup memang melalui proses seperti itu?
Sejumlah besar penelitian selama abad ke-20, telah
dilakukan untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas - pertanyaan yang harus
dijawab oleh teori evolusi. Akan tetapi, penelitianpenelitian tersebut
menghasilkan kesimpulan bahwa teori evolusi tidak dapat menjelaskan tentang
kehidupan. Ini terlihat jelas dalam pembahasan yang lebih mendalam dari ketiga
pertanyaan di atas:
1. Pertanyaan tentang munculnya “sel pertama” adalah
persoalan sulit yang paling mematikan
bagi pendukung teori evolusi. Hasil
berbagai penelitian yang berkenaan dengan hal ini menunjukkan bahwa kemunculan
sel pertama tidak dapat dijelaskan oleh konsep “kebetulan”. Fred
Hoyle menyatakan hal itu
sebagai berikut:
Peluang munculnya makhluk hidup dengan cara ini adalah
sebanding dengan peluang angin tornado yang menyapu lahan penimbunan
barang-barang bekas dan kemudian merakit sebuah pesawat Boeing 747 dari
bahan-bahan yang ada di dalamnya. 63
Berikut ini adalah sebuah contoh untuk melihat kontradiksi
pada kaum evolusionis. Ingatlah contoh terkenal dari William Paley, dan
bayangkanlah seseorang yang seumur hidupnya belum pernah melihat jam dinding.
Orang itu hidup di pulau terpencil, dan suatu hari menemukan sebuah jam
dinding. Bagi orang yang belum pernah melihat sebuah jam dinding dari jarak 100
meter, dia tidak bisa menentukan apa benda tersebut sebenarnya, dan mungkin
tidak bisa membedakannya dari fenomena alam lain yang disebabkan oleh angin,
pasir dan tanah. Namun ketika orang tersebut semakin dekat, hanya dengan
melihatnya, dia akan menyadari bahwa jam itu adalah hasil suatu rancangan.
Ketika lebih dekat lagi, dia tidak akan ragu sedikit pun. Tahap berikutnya,
mungkin dia memeriksa berbagai bagian dari jam tersebut, dan juga sentuhan seni
yang tampak jelas padanya. Ketika dia membuka tutup mesin jam dan
mencermatinya, dia akan melihat bahwa di dalam jam tersebut terdapat akumulasi
pengetahuan yang lebih besar, dibandingkan dengan apa yang terlihat dari luar.
Benda ini adalah hasil kecerdasan. Setiap langkah penelitian selanjutnya akan
menjadikan analisis ini semakin pasti.
Sebagaimana paparan di atas, kebenaran tentang makhluk
hidup muncul ke permukaan seiring dengan ilmu pengetahuan yang semakin maju.
Kemajuan ilmiah telah mengungkapkan kesempurnaan makhluk hidup, baik di tingkat
sistem, organ, jaringan, sel, maupun di tingkat molekul. Dengan semakin
mendalamnya pengetahuan kita tentang semua hal tersebut, kita mampu melihat
dengan lebih jelas sisi yang menakjubkan dari rancangan-rancangan yang ada.
Evolusionis abad ke-19, yang beranggapan bahwa sel adalah suatu gumpalan mungil
karbon, berada pada situasi yang sama dengan orang yang melihat jam dinding
dari jarak 100 meter seperti dalam cerita di atas. Tapi di masa kini, sangatlah
sulit untuk menemukan satu pun ilmuwan yang tidak mengakui bahwa masing-masing
bagian dari sel adalah sebuah hasil karya dan seni serta rancangan yang sangat
hebat. Bahkan pada membran dari sebuah sel yang kecil, yang memiliki sifat
“penyaring selektif”, terdapat kecerdasan dan rancangan yang luar biasa.
Membran tersebut mengenali berbagai atom, protein, dan molekul yang berada di
sekelilingnya, seolah-olah memiliki pikirannya sendiri. Membran hanya akan
membiarkan partikel-partikel yang dibutuhkan masuk ke dalam sel. (Untuk lebih
jauh lagi, bacalah karya Harun Yahya, Consciousness
in the Cell). Tidak seperti jam dinding tadi (yang kecerdasan rancangannya
masih terbatas), organisme hidup adalah bukti kecerdasan dan rancangan yang
menakjubkan. Penelitian-penelitian atas struktur makhluk hidup yang semakin
mendalam dan luas ini, yang sejauh ini baru saja mengungkapkan sebagian kecil
dari rancangbangun dan fungsinya, bukanlah membuktikan evolusi, melainkan
memungkinkan kita untuk memahami kebenaran penciptaan dengan lebih baik.
2. Kaum evolusionis berpendapat, bahwa satu spesies dapat
berubah menjadi spesies lain, melalui mutasi dan seleksi alam. Seluruh
penelitian yang telah dilakukan dan berkaitan dengan masalah ini, menunjukkan
bahwa kedua mekanisme tidak memiliki pengaruh evolusioner yang demikian. Colin
Patterson, seorang ahli paleontologi senior Museum Natural History di London, menekankan fakta ini sebagai berikut :
Tak ada yang pernah
menghasilkan satu spesies melalui mekanisme seleksi alam. Tidak seorang pun
hampir pernah menghasilkannya, dan kebanyakan debat neo-Darwinisme sekarang
adalah seputar masalah ini.64
Penelitian tentang mutasi menunjukkan bahwa proses tersebut
tidak bersifat evolusioner. Ahli genetika dari Amerika, B. G. Ranganathan,
berkata:
Pertama, mutasi sejati amat jarang terjadi di alam ini.
Kedua, kebanyakan mutasi adalah berbahaya, karena perubahan struktur gen
terjadi secara acak, bukan teratur. Perubahan acak apa pun pada sistem dengan
tingkat keteraturan tinggi akan merusak, bukan memperbaiki. Contohnya, bila
gempa bumi mengguncangkan sebuah struktur yang teratur, misalnya sebuah gedung,
akan terjadi perubahan acak dalam kerangka bangunan tersebut yang, dalam segala
kemungkinan, tidak akan memunculkan perbaikan.65
Seperti yang telah kita saksikan, apa yang disebutkan dalam
teori evolusi sebagai mekanisme pembentuk spesies baru, sebenarnya sama sekali
tidak berdampak dan justru merusak. Sekarang, kita memahami bahwa kedua
mekanisme ini – yang diajukan di saat ilmu dan teknologi belum mencapai tingkat
yang cukup tinggi untuk membuktikan ketidakabsahan pendapat yang hanya
merupakan khayal ini – tidak memiliki pengaruh perkembangan maupun evolusi.
3. Fosil juga menunjukkan bahwa makhluk hidup tidaklah
muncul sebagai akibat proses evolusi. Makhluk hidup muncul secara tiba-tiba,
sebagai hasil “rancangan” yang sempurna. Semua fosil yang telah ditemukan
menegaskan hal ini. Niles Eldredge, ahli paleontologi dari Universitas Harvard
dan pengawas di American Museum of
Natural History menjelaskan bahwa tak mungkin fosil yang dapat ditemukan di
masa depan akan dapat mengubah keadaan ini:
Catatan fosil meloncat-loncat, dan semua bukti yang ada
menunjukkan bahwa catatan itu benar adanya: celah-celah yang kita lihat
menunjukkan kejadian sebenarnya dalam sejarah makhluk hidup – bukan artefak
catatan fosil yang tidak lengkap. 66
Robert Wesson, seorang pakar asal Amerika lain, menyatakan
dalam bukunya Beyond
Natural Selection di tahun 1991, bahwa “celah-celah dalam catatan
fosil adalah nyata dan luar biasa”. Ia menjelaskan pernyataannya sebagai
berikut:
Celah-celah dalam catatan fosil itu memang sungguhan.
Ketiadaan catatan akan percabangan yang penting sungguh luar biasa.
Spesies-spesies biasanya terdapat dalam keadaan tetap, atau nyaris tetap, untuk
jangka waktu yang lama; jarang terlihat adanya evolusi suatu spesies menjadi
spesies yang baru, atau tidak pernah terlihat adanya evolusi suatu genus
menjadi genus yang baru.
Yang ada adalah pergantian satu oleh yang lain, dan
perubahan bisa dikatakan berlangsung mendadak. 67
Kesimpulannya, setelah sekitar 150 tahun berlalu sejak
pertama kalinya teori evolusi diusulkan, sejak itu pula penemuan-penemuan di
bidang ilmiah selalu menunjukkan bukti-bukti yang menentangnya. Semakin
diteliti, semakin banyak bukti yang menunjukkan penciptaan yang sempurna, dan
kian dipahami bahwa kemunculan makhluk hidup dan variasinya akibat faktor
kebetulan adalah mustahil. Setiap penelitian mengungkapkan bukti baru akan
adanya rancangan pada makhluk hidup, sehingga fakta penciptaan semakin jelas.
Sejak masa Darwin, setiap dasawarsa yang berlalu kian mengungkapkan
ketidakabsahan teori evolusi.
Singkatnya, kemajuan ilmiah tidak mendukung teori evolusi.
Oleh sebab itu, perkembangan di masa depan juga tak akan mendukung, malah akan
semakin memperjelas ketidakabsahan teori ini.
Tidak benar apabila dikatakan bahwa evolusi adalah sesuatu
yang belum bisa dijawab atau diterangkan oleh ilmu pengetahuan. Juga tidak
benar bahwa evolusi bisa dibuktikan di masa yang akan datang. Ilmu pengetahuan
modern telah menyangkal teori evolusi di segala bidang, dan menunjukkan bahwa
dari sudut pandang mana pun, proses evolusi mustahil terjadi. Adanya upaya
untuk mempertahankan kepercayaan ini dengan mengatakan bahwa evolusi akan
dibuktikan di masa depan, merupakan hasil dari pola pikir khayal dan mimpi kaum
Marxist dan lingkungan materialis yang melihat evolusi sebagai penyokong
ideologi mereka. Mereka, dengan demikian, hanyalah mencoba menghibur diri dari
rasa putus asa.
Karena itu, gagasan
bahwa “evolusi akan terbukti di masa depan” tak berbeda dengan berkata “di masa
depan akan terbukti bahwa Bumi terletak di punggung seekor gajah”.
17
MENGAPA
PERISTIWA METAMORFOSIS BUKANLAH BUKTI KEBENARAN TEORI EVOLUSI?
Beberapa jenis hewan mengalami perubahan fisik agar dapat
bertahan dan beradaptasi dengan kondisi alam yang berubah-ubah. Proses ini
dikenal sebagai metamorfosis. Mereka yang tak begitu memahami biologi, serta
mereka yang mendukung teori evolusi, kadang-kadang mencoba menggambarkan proses
itu sebagai bukti evolusi. Sumber-sumber yang menyatakan metamorfosis sebagai
“contoh evolusi” adalah omong kosong. Hal ini merupakan hasil propaganda
dangkal dan sempit, yang bertujuan menyesatkan mereka yang kurang paham tentang
perihal ini, pendukung evolusi yang masih baru, serta guru-guru biologi
Darwinis yang tidak benar-benar tahu masalahnya. Para ilmuwan yang dianggap
ahli dalam bidang evolusi, dan memahami kebuntuan dan pertentangan dalam teori
ini, seringkali bersikap segan bila harus mengungkapkan pernyataan yang
menggelikan ini. Sebab, mereka tahu betapa pendapat tersebut tidak masuk akal …
Kupu-kupu, lalat dan lebah adalah beberapa contoh hewan
yang dikenal mengalami proses metamorfosis. Katak, yang mula-mula hidup di air
lalu pindah ke darat, merupakan contoh yang lain. Hal ini tak ada kaitannya
dengan evolusi, karena teori evolusi berusaha menjelaskan proses munculnya
keberagaman di antara makhluk hidup melalui peristiwa mutasi yang terjadi
secara tidak disengaja. Akan tetapi, metamorfosis tidak memiliki kesamaan apa
pun dengan pernyataan tersebut. Metamorfosis merupakan proses yang sudah
direncanakan, dan tidak ada kaitannya dengan mutasi ataupun faktor kebetulan.
Metamorfosis tidaklah disebabkan oleh kebetulan. Penyebab proses ini adalah
data genetis yang sudah menjadi bagian terpadu makhluk tersebut sejak lahir.
Misalnya, katak memiliki informasi genetis yang memungkinkannya hidup di darat
serta di bawah permukaan air. Bahkan saat masih berbentuk larva, seekor nyamuk
memiliki informasi genetis tentang bentuk pupa dan dewasa. Hal serupa juga
terdapat pada semua hewan yang mengalami metamorfosis.
Metamorfosis adalah bukti penciptaan
Penelitian ilmiah terakhir tentang metamorfosis telah
menunjukkan bahwa peristiwa metamorfosis adalah proses rumit yang dikendalikan
oleh beberapa gen yang berlainan. Dalam metamorfosis katak, misalnya, proses
yang menyangkut ekor dikendalikan oleh lebih dari dua belas gen. Artinya,
proses pembentukan ekor terjadi berkat adanya kerja sama antara beberapa
bagian. Ini merupakan proses biologi yang menunjukkan ciri irreducible complexity, atau “kerumitan tak tersederhanakan”, yang
berarti metamorfosis adalah bukti akan adanya penciptaan.
Irreducible complexity adalah konsep dalam dunia ilmiah yang
diungkapkan oleh Profesor Michael Behe, ahli biokimia yang dikenal atas
penelitiannya yang membuktikan ketidakabsahan teori evolusi. Arti konsep ini
adalah organ dan sistem kompleks berfungsi sebagai hasil kerja sama berbagai
bagian penyusunnya, dan jika saja satu bagian terkecil tidak berfungsi, maka
seluruh sistem atau organ akan berhenti pula. Struktur yang rumit ini tidak
mungkin muncul secara kebetulan, berubah sedikit demi sedikit seperti yang
diungkapkan oleh teori evolusi. Yang terjadi dalam peristiwa metamorfosis
adalah irreducible complexity
(kerumitan tak tersederhanakan). Proses metamorfosis terjadi melalui
keseimbangan dan pewaktuan hormon yang sangat teliti, yang dipengaruhi oleh
beragam gen. Kesalahan terkecil sekali pun akan mengakibatkan kematian makhluk
hidup tersebut. Oleh sebab itu, tidak mungkin proses serumit ini dapat terjadi
secara kebetulan dan bertahap. Karena kesalahan sekecil apa pun akan
mengakibatkan kematian hewan tersebut, adalah mustahil menjelaskan peristiwa
ini dengan mekanisme “trial and error”
(cobacoba) atau seleksi alam, seperti pendapat evolusionis. Tidak ada satu pun
makhluk yang dapat bertahan berjuta-juta tahun, untuk menunggu bagian tubuh
yang diperlukannya muncul secara kebetulan.
Mengingat semua hal di atas, jelaslah bahwa metamorfosis
tidak membuktikan kebenaran teori evolusi, seperti yang diasumsikan oleh
sebagian orang yang kurang paham tentang metamorfosis. Sebaliknya, apabila kita
renungkan betapa rumitnya proses dan sistem pengendali metamorfosis,
hewan-hewan yang mengalami metamorfosis adalah bukti yang jelas akan fakta
penciptaan.
12
MENGAPA
GIGI GERAHAM BUNGSU BUKANLAH BUKTI KEBENARAN EVOLUSI?
Salah satu tipuan penting dari teori evolusi adalah
pernyataan yang berkaitan dengan organ vestigial (organ persisaan). Evolusionis
menyatakan bahwa terdapat sejumlah organ dalam makhluk hidup yang kehilangan
fungsinya seiring dengan waktu, dan kemudian lenyap. Dengan berpedoman pada hal
ini, kaum evolusionis mencoba mengirimkan pesan, “Jika tubuh makhluk hidup
adalah hasil penciptaan, maka seharusnya di dalamnya tidak terdapat organ yang
tak berfungsi”.
Naskah terbitan kaum evolusionis di awal abad ke-20
menyatakan bahwa tubuh manusia memiliki sekitar seratus buah organ yang sudah
tidak berguna lagi. Di antaranya adalah usus buntu, tulang ekor, amandel,
kelenjar pineal, telinga bagian luar, kelenjar timus, dan geraham bungsu. Akan
tetapi, ilmu kedokteran telah mencapai kemajuan pesat dalam beberapa dasawarsa
setelah itu. Akibatnya, tampaklah bahwa gagasan organ vestigial hanyalah
takhayul. Daftar panjang buatan kaum evolusionis pun berkurang secara tajam.
Kelenjar timus ternyata adalah organ yang menghasilkan sel sistem kekebalan
yang penting, dan kelenjar pineal berfungsi menghasilkan hormon-hormon penting.
Terungkap pula bahwa tulang ekor berfungsi untuk menopang tulangtulang sekitar
pinggul, dan telinga bagian luar berfungsi penting dalam mengenali dari arah
mana bebunyian berasal. Singkat kata, terungkap bahwa ketidaktahuan adalah
satu-satunya pijakan yang menopang gagasan tentang “organ vestigial”.
Ilmu pengetahuan modern telah berulang kali menunjukkan
bahwa konsep organ semacam itu adalah keliru. Namun, sebagian kaum evolusionis
masih memanfaatkan pernyataan ini. Walaupun ilmu kedokteran telah membuktikan
bahwa hampir semua organ itu (yang tadinya disebut-sebut sebagai “vestigial”)
ternyata memiliki fungsinya masing-masing, dugaan evolusi yang tidak berdasar
masih menyelimuti satu atau dua organ.
Salah satu yang paling menonjol adalah geraham bungsu.
Dalam naskah evolusionis masih tercantum anggapan bahwa gigi ini adalah bagian
tubuh manusia yang telah kehilangan semua fungsinya. Sebagai buktinya, kaum
evolusionis menyatakan bahwa gigi-gigi geraham bungsu ini memunculkan masalah
pada sebagian besar orang, dan proses mengunyah tidak terganggu ketika
gigi-gigi tersebut dicabut.
Banyak dokter gigi, karena terpengaruh pernyataan
evolusionis bahwa gigi bungsu tidak berfungsi, telah berpandangan bahwa
pencabutan gigi bungsu sesuatu yang biasa, dan mereka tidak melakukan usaha
pemeliharaan yang sama padanya seperti pada gigi yang lain.53 Akan
tetapi penelitian di tahun-tahun terakhir menunjukkan, gigi bungsu memiliki
fungsi mengunyah, sama seperti gigi lain. Selain itu, penelitian menunjukkan
bahwa anggapan “gigi bungsu mengganggu posisi gigi lain” adalah sama sekali tak
beralasan.54 Sekarang ini kritik ilmiah, tentang bagaimana masalah
gigi bungsu ini bisa diatasi bukan dengan cara pencabutan, semakin meningkat.55
Faktanya, kesepakatan ilmiah menyatakan bahwa gigi geraham bungsu berfungsi
mengunyah, sama dengan gigi lain, dan tidak ada pembenaran ilmiah yang
mendukung keyakinan bahwa gigi geraham bungsu tidak memiliki kegunaan.
Jadi, mengapa gigi geraham bungsu menimbulkan gangguan pada
banyak orang? Berdasarkan penelitian para ahli di bidang ini, permasalahan gigi
bungsu di masyarakat terjadi secara berbeda-beda, tergantung zaman. Kini
diketahui bahwa gangguan gigi bungsu jarang terdapat di masyarakat pra-industri.
Khususnya selama beberapa ratus tahun terakhir ini, manusia lebih menyukai
makanan lunak daripada yang keras, sehingga pertumbuhan rahang manusia pun
terganggu. Akhirnya diketahui, ternyata masalah gigi bungsu berasal dari
gangguan pertumbuhan rahang akibat pola makan.
Diketahui pula, ternyata perilaku makan masyarakat juga
berpengaruh buruk pada gigi lainnya. Sebagai contoh, meningkatnya konsumsi
makanan dengan kadar gula dan asam yang tinggi telah meningkatkan kerusakan
gigi. Tapi, fakta itu tidak menjadikan kita berpikir bahwa semua gigi kita
mengalami “atrofi” (pengecilan atau penyusutan). Hal yang sama juga berlaku
pada gigi geraham bungsu. Masalah pada gigi geraham bungsu berasal dari
kebiasaan makan, bukan dari “atrofi” evolusioner apa pun.
13
BAGAIMANAKAH
TEORI EVOLUSI DIRUNTUHKAN OLEH STRUKTUR YANG KOMPLEKS PADA MAKHLUK PALING
PURBA?
Dalam catatan fosil, makhluk hidup membentuk untaian atau
rantai. Bila kita perhatikan rantai ini dari makhluk paling purba sampai yang
paling muda, tampaklah bahwa makhluk hidup muncul dalam bentuk mikroorganisme,
hewan laut tak bertulang belakang (invertebrata), ikan, amfibi, reptil, unggas,
dan mamalia. Pendukung teori evolusi membahas rantai ini dengan penuh praduga,
sambil berupaya menyajikannya sebagai bukti teori evolusi. Mereka menyatakan
bahwa makhluk hidup berkembang dari bentuk sederhana menuju bentuk yang lebih
kompleks, dan selama proses ini berlangsung, beraneka ragam makhluk hidup pun
tercipta. Misalnya, para evolusionis mengemukakan, fakta tidak ditemukannya
fosil manusia pada pengkajian terhadap lapisan fosil berusia 300 juta tahun
merupakan salah satu bukti kebenaran evolusi. Profesor Aykut Kence, seorang
evolusionis Turki, berkata:
Anda ingin menggugurkan teori evolusi? Jika demikian,
pergilah dan cari beberapa fosil manusia dari zaman Kambrium! Siapa pun yang
berhasil menemukannya akan meruntuhkan teori evolusi, bahkan memenangkan hadiah
Nobel atas penemuannya.56
Perkembangan makhluk hidup dari bentuk sederhana (primitif) ke bentuk
rumit (kompleks) adalah pemikiran khayal
Mari kita bayangkan cara berpikir evolusionis yang terdapat
dalam kata-kata Profesor Kence. Perkembangan makhluk hidup dari bentuk primitif
ke bentuk kompleks adalah praduga evolusionis yang tak benar sedikit pun.
Profesor biologi asal Amerika, Frank L. Marsh, yang mengkaji pernyataan kaum
evolusionis, dalam bukunya Variation and
Fixity in Nature menyatakan makhluk
hidup tak dapat disusun dalam sebuah urutan yang senantiasa bersambung tanpa
putus dari bentuk sederhana ke bentuk rumit.57
Dalam hal ini, pernyataan evolusionis sebenarnya dapat
diruntuhkan oleh fakta kemunculan mendadak dari hampir seluruh filum hewan yang
dikenal sekarang di Zaman Kambrium. Bahkan, semua hewan yang muncul secara
tiba-tiba tersebut sudah memiliki struktur tubuh yang rumit, tidak sederhana –
hal ini benar-benar berlawanan dengan asumsi evolusionis.
Trilobita yang termasuk filum Arthropoda, adalah makhluk
sangat rumit dengan cangkang keras, memiliki tubuh yang bersendi, dan
organ-organ kompleks.. Catatan fosil telah memungkinkan pengkajian yang sangat
terperinci terhadap mata trilobita. Mata trilobita terdiri atas beratus-ratus
faset kecil, yang masing-masing terdiri atas dua lapisan lensa. Struktur mata
ini adalah keajaiban nyata perancangan. David Raup, profesor geologi di
Universitas Harvard, Rochester, dan Chicago, berkata, “Trilobita yang hidup 450
juta tahun yang silam telah memiliki rancangan optimal yang di zaman kini
memerlukan insinyur optik yang terlatih baik dan imajinatif untuk
mengembangkannya.” 58
Sisi menarik lainnya di seputar bahasan ini adalah, lalat
di zaman sekarang memiliki struktur mata yang serupa. Dengan kata lain,
struktur demikian itu sudah ada selama 520 juta tahun terakhir ini.
Pemandangan luar biasa tentang Zaman Kambrium sangat sedikit
diketahui di saat Darwin menulis The
Origin of Species. Setelah masa Darwin, barulah orang tahu, bahwa menurut
catatan fosil, makhluk hidup muncul dengan seketika di Zaman Kambrium, dan
trilobita serta hewan invertebrata lain hadir di muka bumi secara bersamaan.
Dalam bukunya, Darwin tak mampu membahas sepenuhnya mengenai hal ini. Namun, ia
memang membahas sedikit tentang itu dalam bab berjudul “On the sudden
appearance of groups of allied species in the lowest known fossiliferous
strata“ (Timbulnya secara serentak kelompok-kelompok spesies yang saling
terkait dalam lapisan fosil terendah yang diketahui), ia menulis di sini
tentang Zaman Silur (di masa Darwin, zaman ini mencakup pula zaman yang kini
kita sebut Kambrium):
Misalnya, saya tidak dapat meragukan bahwa semua trilobita
zaman Silur merupakan keturunan yang berasal dari sejenis hewan krustasea
(bangsa udang), yang tentunya telah hidup jauh sebelum Zaman Silur, dan mungkin
jauh berbeda dari hewan mana pun yang telah dikenal …
Karena itu, jika teori saya benar, tak pelak lagi bahwa jauh sebelum lapisan
Silur paling bawah terbentuk, waktu yang amat panjang telah berlalu, mungkin
sama atau jauh lebih panjang daripada selang waktu antara zaman Silur dengan
masa kini; dan selama rentang masa yang sungguh panjang ini, namun belum banyak
dikenal, dunia ini dipenuhi makhluk hidup. Saya tak mampu memberi jawaban yang
memuaskan atas pertanyaan mengapa kita tidak menemukan bekas-bekas dari zaman
purba yang sungguh panjang ini.59
Darwin berkata, “Jika
teori saya benar, tak pelak lagi bahwa dunia ini dipenuhi makhluk hidup sebelum
Zaman Silur.” Untuk menjawab pertanyaan, mengapa tidak terdapat fosil
makhlukmakhluk itu, ia mencoba menjawab di sepanjang bukunya, dengan
menggunakan alasan “catatan fosil yang sangat terbatas”. Tapi kini, catatan
fosil sudah lengkap, dan menunjukkan bahwa makhluk Zaman Kambrium tak memiliki
nenek moyang. Artinya, kita harus menolak kalimat Darwin yang diawali dengan “…
jika teori saya benar”. Hipotesa Darwin tidak absah; karena itu,
teorinya salah.
Makhluk hidup tidak berkembang dari bentuk sederhana ke
bentuk yang kompleks. Pada saat pertama kali muncul, makhluk hidup sudah
teramat kompleks. Contoh lain dari hal ini adalah ikan hiu, yang menurut
catatan fosil sudah ada sejak sekitar 4000 juta tahun yang lalu. Hewan ini
memiliki berbagai ciri istimewa yang tidak dimiliki hewan lain yang tercipta
jutaan tahun setelahnya, misalnya pertumbuhan gigi (regenerasi) setelah gigi
yang lama tanggal. Contoh lainnya adalah kemiripan yang mengejutkan antara mata
mamalia dan gurita yang telah hidup di Bumi berjuta-juta tahun sebelum mamalia.
Contoh-contoh tersebut memperjelas bahwa spesies makhluk
hidup tidak dapat disusun berurutan secara baik dari bentuk primitif ke bentuk
kompleks.
Fakta itu juga ditampilkan oleh hasil penelitian terhadap
segi bentuk, fungsi, dan genetika makhluk hidup. Misalnya, bila kita cermati
catatan fosil pada tingkat terendah, dilihat dari segi bentuk dan ukuran,
tampak bahwa banyak makhluk (misalnya dinosaurus) yang berukuran jauh lebih
besar daripada yang muncul kemudian.
Demikian juga bila kita cermati dari segi fungsional
makhluk hidup. Pada perkembangan struktur, telinga adalah contoh yang
meruntuhkan pendapat “makhluk hidup berkembang dari bentuk primitif menuju
kompleks”. Hewan amfibi memiliki rongga telinga-tengah. Akan tetapi reptil,
yang muncul sesudah amfibi, mempunyai sistem yang jauh lebih sederhana. Pada
reptil, sistem ini berdasarkan satu tulang kecil saja, tanpa ruang
telinga-tengah.
Kajian genetika menunjukkan hasil serupa. Berbagai
penelitian telah menunjukkan bahwa jumlah kromosom tak ada kaitannya dengan
kompleksitas tubuh hewan. Misalnya, manusia memiliki 46 buah kromosom, kopepoda
memiliki 6 buah, dan radiolaria (hewan yang berukuran mikroskopis) memiliki tepat
800 buah.
Makhluk hidup diciptakan pada saat yang paling “sesuai”
baginya
Penelitian catatan fosil sesungguhnya menunjukkan, makhluk
hidup muncul di masa yang paling cocok baginya. Tuhan telah menciptakan makhluk
hidup secara luar biasa. Makhluk hidup diciptakan tepat sesuai dengan keadaan
yang akan dihadapinya saat muncul di Bumi.
Mari kita lihat contoh berikut ini: Bumi di kala fosil
bakteri tertua muncul, yakni sekitar 3,5 miliar tahun yang silam. Kondisi suhu
dan atmosfer waktu itu sama sekali tidak cocok untuk mendukung kehidupan
makhluk berstruktur kompleks ataupun manusia. Demikian juga zaman Kambrium,
yang menurut Kence, apabila ditemukan fosil manusia pada masa itu, teori
evolusi akan runtuh. Periode ini, sekitar 530 juta tahun silam, benar-benar tak
cocok bagi manusia. (Saat itu tak ada hewan di darat).
Keadaan serupa juga tampak pada hampir seluruh zaman
sesudahnya. Penelitian catatan fosil menunjukkan bahwa kondisi yang dapat
mendukung kehidupan manusia baru tercapai beberapa juta tahun yang silam. Hal
yang sama ini berlaku pula pada seluruh makhluk hidup lainnya. Setiap kelompok
makhluk hidup muncul apabila kondisi yang mendukung bagi kehidupannya telah
tercapai, dengan kata lain, “bila waktunya sudah tepat”.
Kaum evolusionis
menentang fakta ini sekuat tenaga. Mereka mengatakan bahwa kondisi pendukung
itu sendirilah yang telah memunculkan makhluk hidup. Padahal, terciptanya
“kondisi pendukung” hanyalah tanda bahwa “saat yang tepat telah tiba”. Makhluk
hidup hanya dapat muncul
melalui sebuah campur tangan yang memiliki
kesadaran – dengan kata lain, melalui penciptaan oleh kekuatan hebat di luar
alam.
Karena itu, munculnya makhluk hidup secara bertahap
bukanlah bukti evolusi, melainkan bukti kebijaksanaan dan pengetahuan Tuhan
yang tak terhingga, Yang menciptakan makhluk hidup. Setiap kelompok makhluk
hidup diciptakan untuk menyiapkan kondisi yang sesuai bagi kemunculan kelompok
makhluk hidup berikutnya. Dan bagi kita, keseimbangan ekologis dengan seluruh
makhluk hidup disiapkan terlebih dahulu dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Di lain pihak, kita
harus ingat bahwa periode panjang itu hanya dirasakan “panjang” oleh kita. Bagi
Tuhan, itu hanyalah “sesaat” saja. Konsep waktu hanya berlaku bagi makhluk,
bukan Pencipta. Tuhan, Pencipta waktu itu sendiri, tidaklah terikat oleh waktu.
(Lihat lebih jauh dalam buku Harun Yahya: Timelessness
and the Reality of Fate)
Jika kaum evolusionis hendak menunjukkan bahwa satu spesies
berubah menjadi spesies lain, tak ada gunanya berkata bahwa makhluk hidup
muncul di Bumi selangkah demi selangkah. Bukti yang harus mereka kemukakan
adalah fosil makhluk peralihan yang menghubungkan antarspesies makhluk hidup
yang berbeda ini. Teori yang menyatakan bahwa invertebrata berubah menjadi
ikan, ikan menjadi reptil, reptil menjadi burung dan mamalia, harus didukung
fosil sebagai buktinya. Darwin sadar akan hal itu dan menuliskan bahwa fosil
semacam ini harus ditemukan dalam jumlah tak terhitung banyaknya, walaupun
sejauh ini tidak pernah ditemukan satu pun. Selama 150 tahun setelah teori
Darwin diajukan, fosil makhluk peralihan belum pernah ditemukan. Seperti yang
diakui oleh Derek W. Ager, seorang evolusionis ahli paleontologi, catatan fosil
menunjukkan “bukan evolusi bertahap,
melainkan sebuah ledakan tiba-tiba sekelompok makhluk hidup di atas kepunahan
kelompok yang lain.”60
Sebagai kesimpulan, sejarah kehidupan menunjukkan bahwa
makhluk hidup muncul bukan sebagai hasil peristiwa kebetulan, melainkan
diciptakan tahap demi tahap, dalam periode yang amat panjang. Ini amat sesuai
dengan keterangan tentang penciptaan dalam Al Qur’an, yang di dalamnya Tuhan
berfirman bahwa Dia menciptakan alam semesta dan semua makhluk hidup dalam
“enam hari”:
Allah-lah
yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam
masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain
daripada-Nya seorang penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at.
Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. As Sajdah, 32:4)
Kata “hari” dalam ayat itu, atau yawm dalam bahasa Arab, juga berarti selang waktu yang panjang.
Dengan kata lain, Al Qur’an menyebutkan bahwa kehidupan diciptakan dalam
beberapa masa yang berbeda, tidak sekaligus. Penemuan di bidang geologi di
zaman modern memberikan gambaran yang menegaskan hal ini.
14
MENGAPA MENYANGKAL TEORI EVOLUSI
DISAMAKAN
DENGAN MENOLAK PERKEMBANGAN DAN KEMAJUAN?
Kata “evolusi” akhir-akhir ini sering digunakan dalam
beberapa makna. Di antaranya, kini ada penambahan aspek sosial, sehingga,
sekarang “evolusi” juga bisa berarti kemajuan umat manusia dan perkembangan
teknologi. Tak ada yang salah dengan konsep “evolusi” bila digunakan dalam
makna tersebut. Tak diragukan, umat manusia akan menggunakan kecerdasan,
kepandaian, dan kekuatannya untuk berkembang, seiring berjalannya waktu. Dari
generasi ke generasi, pengetahuan umat manusia semakin berkembang. Dengan cara
yang sama, hal ini tidak membuktikan kebenaran teori evolusi itu sendiri – yang
mengatakan bahwa makhluk hidup tercipta secara kebetulan – dan juga tidak
sedikit pun bertentangan dengan kebenaran fakta penciptaan.
Akan tetapi, kaum evolusionis mempermainkan arti kata ini.
Konsep yang benar, dikacaukan dengan konsep yang palsu. Sebagai contoh,
pernyataan “Dalam perjalanan panjang umat manusia, sebagai makhluk sosial,
pengetahuan, budaya, dan teknologi yang dihasilkan, manusia selalu tetap
berkembang” adalah benar. (Walaupun demikian, kita harus ingat bahwa seiring
dengan waktu,
yang dapat terjadi bukan saja kemajuan,
melainkan juga kemunduran. Dari sudut sosiologi, ada masa-masa
kemajuan, keterhentian, dan kemunduran). Akan tetapi, pernyataan “Makhluk hidup
berkembang dan berubah dengan berlalunya waktu, seperti halnya manusia telah
mengalami perkembangan dan kemajuan” adalah salah. Sebagai makhluk berpikir,
pengetahuan manusia meningkat dan diwariskan turun-temurun, sehingga
terus-menerus tercapai kemajuan; ini adalah masuk akal dan ilmiah. Akan tetapi,
sama sekali tidak masuk di akal apabila dikatakan bahwa makhluk hidup
berkembang dan berevolusi melalui ketidaksengajaan dan kebetulan, dengan
mengikuti kehendak kondisi-kondisi alamiah yang tidak terkendali dan tanpa
kesadaran.
Semua ilmuwan terbesar dalam kemajuan ilmiah adalah penganut fakta
penciptaan (kreasionis)
Tak menjadi soal, betapapun keras upaya kaum evolusionis
dalam menampilkan diri mereka sebagai pemuncul gagasan seperti inovasi
(pembaruan) dan kemajuan, sejarah telah membuktikan bahwa pencetus yang
sebenarnya dari inovasi dan kemajuan adalah selalu para ilmuwan beriman yang
meyakini penciptaan oleh Tuhan.
Kita dapat menyaksikan adanya ilmuwan yang beriman di
setiap titik kemajuan ilmiah. Leonardo
da Vinci, Copernicus, Kepler, dan Galileo, yang memulai era baru dalam ilmu astronomi, Cuvier, pendiri paleontologi, Linnaeus, pendiri sistem penggolongan
modern untuk flora dan fauna, Isaac
Newton, penemu hukum gravitasi, Edwin
Hubble, yang menemukan adanya galaksi dan pemuaian alam semesta, serta
banyak lagi, dan banyak lainnya yang meyakini Tuhan dan percaya bahwa alam
semesta dan makhluk hidup adalah ciptaanNya.
Salah satu ilmuwan
terbesar di abad kedua puluh, Albert
Einstein, berkata:
Saya
tak dapat membayangkan seorang ilmuwan sejati tanpa keimanan yang kuat.
Situasi ini dapat dilukiskan sebagai: Ilmu tanpa agama adalah lumpuh…61
Max Planck, pendiri fisika modern berkebangsaan Jerman, berkata:
Siapa pun yang secara sungguh-sungguh telah terlibat dalam
kerja ilmiah jenis apa pun juga, akan sadar bahwa di atas pintu gerbang
memasuki kuil ilmu pengetahuan tertera kalimat: Engkau harus beriman. Ini adalah sifat yang tak dapat dilepaskan
dari seorang ilmuwan.62
Sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa perubahan dan
kemajuan adalah hasil karya para ilmuwan yang berpaham kreasionis (meyakini
penciptaan). Selain itu, tentu saja, berbagai kemajuan dalam ilmu pengetahuan
di abad ke-20 dan ke-21 telah secara khusus menyajikan bukti yang amat banyak
atas kebenaran fakta penciptaan. Teknologi dan ilmu pengetahuan modern telah
memungkinkan kita untuk menemukan fakta bahwa alam semesta tercipta dari
ketiadaan, dengan kata lain, “diciptakan”. Segenap dunia ilmiah sepakat bahwa
alam semesta tercipta dan berkembang sebagai akibat sebuah ledakan titik
tunggal. Dengan demikian, hancurlah sudah model alam semesta “tak hingga”, yang
tidak memiliki awal ataupun akhir, yang diyakini oleh kaum materialis karena
kondisi ilmu pengetahuan yang masih terbelakang di abad ke-19. Kini disadari
bahwa alam semesta diciptakan, seperti tercantum dalam Al Qur’an, dan alam
memiliki awal dan batasan serta mengembang seiring dengan waktu. Al Qur’an
menyatakan fakta ini sebagai berikut:
Dan
apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka
tiada juga beriman? (QS. Al Anbiyaa’ , 21:30)
Dan
langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benarbenar
meluaskannya. (QS. Adz Dzaariyaat, 51:47)
Lagi-lagi, kemajuan ilmiah di abad ke-20 lah yang
memungkinkan kita menemukan semakin banyak bukti penciptaan. Mikroskop elektron
mengungkapkan struktur sel, satuan terkecil pembentuk makhluk hidup, beserta
bagian-bagiannya. Penemuan DNA menunjukkan kecerdasan dan pengetahuan yang
tidak terhingga yang terdapat di dalam sel. Kemajuan ilmu biokimia dan
fisiologi menunjukkan cara kerja sempurna di tingkat molekul pada tubuh, serta
rancangan yang amat hebat, yang tak mungkin dapat dijelaskan dengan apa pun
selain penciptaan.
Bertolak belakang dari semua itu, adalah keterbelakangan
ilmu pengetahuan 150 tahun yang lalu yang menyediakan lahan subur bagi
tumbuhnya teori evolusi.
Sebagai kesimpulan, adalah mustahil menganggap mereka yang
meyakini penciptaan dan terus menghadirkan berbagai bukti baru tentang
penciptaan ini sebagai kaum yang menolak kemajuan, perkembangan, dan ilmu
pengetahuan. Sebaliknya, mereka itulah pendukung terbesar bagi ketiga hal
tersebut. Mereka yang sesungguhnya menolak kemajuan adalah mereka yang menutup
mata terhadap semua bukti ilmiah yang sudah ada serta terus mempertahankan
teori evolusi, yang sebenarnya tak lain hanya merupakan angan kosong.
15
MENGAPA BERPIKIR BAHWA TUHAN
MENCIPTAKAN
MAKHLUK HIDUP MELALUI PROSES EVOLUSI ADALAH SALAH?
Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa rancangan menakjubkan
yang tampak di seluruh makhluk hidup dan benda mati di alam semesta ini
tidaklah mungkin muncul menjadi ada akibat kekuatan alamiah buta dan
ketidaksengajaan. Meskipun demikian, sebagian orang menyatakan, memang benar
bahwa terdapat sang Pencipta, tetapi Dia menciptakan kehidupan melalui proses
evolusi.
Sudah sangat jelas bahwa Tuhan Yang Mahakuasa telah
mencipta seluruh alam semesta dan makhluk hidup. Adalah keputusanNya untuk
mencipta secara seketika ataupun bertahap. Kita hanya dapat memahami
kejadiannya melalui informasi yang Tuhan berikan kepada kita (dengan kata lain,
melalui ayat Al Qur’an), serta melalui bukti ilmiah yang tampak jelas di alam
ini.
Jika
mencermati kedua sumber tersebut, kita tidak menyaksikan adanya peristiwa
“penciptaan melalui evolusi”.
Tuhan telah menurunkan berbagai ayat dalam Al Qur’an yang
membahas tentang penciptaan
manusia, kehidupan, dan alam semesta. Tak
satu pun di antara ayat tersebut yang berisi keterangan tentang penciptaan
melalui evolusi. Dengan kata lain, tak satu pun ayat yang berkata bahwa makhluk
hidup tercipta akibat proses evolusi dari satu makhluk menjadi makhluk lain.
Sebaliknya, diungkapkan dalam ayat-ayat itu, bahwa kehidupan dan jagat raya ini
tercipta melalui perintah Tuhan: “Jadilah!”
Penemuan ilmiah pun telah
memperlihatkan bahwa penciptaan melalui proses evolusi adalah mustahil. Catatan
fosil menunjukkan bahwa beraneka ragam spesies muncul bukan melalui evolusi
satu dari yang lainnya, melainkan secara terpisah, secara tiba-tiba, serta
dilengkapi dengan seluruh struktur mereka masing-masing yang khas. Dengan kata
lain, penciptaan bagi setiap spesies adalah berbeda.
Jika terdapat sesuatu seperti “penciptaan melalui evolusi”,
kita sudah seharusnya dapat
melihat buktinya saat ini. Tuhan telah
menciptakan segala sesuatu menurut peraturan tertentu, di dalam kerangka hukum
sebab-akibat. Misalnya, sudah pasti Tuhan yang menjadikan kapal dapat terapung
di air. Akan tetapi, apabila kita mempelajari penyebabnya, kita akan memahami
bahwa penyebabnya adalah diciptakannya pada air kekuatan yang menopang kapal.
Tidak ada sesuatu pun kecuali kekuatan Tuhan yang memungkinkan burung dapat
terbang. Akan tetapi, bila kita mempelajari bagaimana ini terjadi, kita akan
menemukan adanya hukum aerodinamika. Oleh sebab itulah, jika makhluk hidup
memang diciptakan melalui proses bertahap, maka seharusnya terdapat sistem yang
dilengkapi hukum-hukum dan kemajuan-kemajuan di bidang genetika, yang dapat
menjelaskan peristiwa tersebut. Lebih lanjut, kita akan mengenal adanya hukum
biologi, kimia dan fisika yang lain. Akan terdapat bukti dari penelitian
laboratorium yang menunjukkan bahwa satu makhluk hidup dapat berubah menjadi
makhluk lain. Selain itu, dari berbagai riset tersebut, dimungkinkan
pengembangan enzim, hormon, dan molekul sejenis yang tak dimiliki suatu
spesies, agar spesies tersebut dapat memanfaatkannya. Tambahan lagi, kemajuan
tersebut akan memungkinkan diciptakannya berbagai struktur dan organel baru
yang belum pernah dimiliki spesies itu.
Kajian-kajian laboratorium akan mampu menunjukkan contoh-contoh
makhluk yang telah melalui proses mutasi, serta memperoleh manfaat dari proses
tersebut. Kita juga akan mampu melihat mutasi itu diwariskan kepada generasi
berikutnya, serta benar-benar menjadi bagian dari spesies. Selain itu pula,
akan terdapat jutaan fosil makhluk peralihan dari masa silam, dan di masa kini
akan ada makhluk hidup yang tahapan transisinya belum selesai. Pendek kata,
seharusnya terdapat berbagai contoh proses seperti ini, yang tak terhitung
banyaknya.
Akan tetapi, tak ada satu pun bukti bahwa satu spesies
dapat melakukan perubahan menjadi spesies lainnya. Seperti telah kita lihat,
data fosil menunjukkan bahwa semua spesies makhluk hidup muncul secara
tiba-tiba tanpa nenek moyang. Fakta ini, selain menghancurkan teori evolusi
(yang menyatakan kehidupan muncul berdasarkan peristiwa kebetulan), juga
menunjukkan ketidakabsahan pendapat bahwa Tuhan menciptakan makhluk hidup, dan
kemudian makhluk tersebut berubah melalui proses.
Tuhan menciptakan makhluk hidup secara supernatural,
melalui satu perintah “Jadilah!” Ilmu pengetahuan modern menegaskan fakta ini,
dan membuktikan bahwa makhluk hidup muncul secara tiba-tiba di Bumi.
Para pendukung gagasan
“Mungkin saja Tuhan menciptakan makhluk hidup di Bumi melalui proses evolusi”
sebenarnya sedang mencoba membangun “titik temu” antara penciptaan dan
Darwinisme. Akan tetapi ini adalah suatu
kesalahan yang mendasar. Mereka tidak menyadari dasar logika Darwinisme dan
filsafat yang dijunjungnya. Darwinisme bukanlah terdiri atas gagasan perubahan
spesies. Sebenarnya, Darwinisme adalah suatu upaya untuk menjelaskan asal-usul
makhluk melalui penyebab-penyebab yang bersifat materi belaka. Dengan kata
lain, Darwinisme berupaya agar masyarakat menerima pendapat bahwa makhluk hidup
adalah hasil kerja alam, dan melapisi pendapat itu dengan polesan ilmiah. Tak
mungkin ada “titik temu” atau “satu landasan pijak bersama” antara filsafat
naturalistik (ajaran yang tidak mengakui adanya kekuatan lain selain
alam) dengan keyakinan kepada Tuhan. Adalah
salah apabila kita berusaha mencari titik temu seperti itu, bersikap menyerah
kepada Darwinisme, dan menganggapnya sebagai teori ilmiah. Seperti tampak dari
150 tahun sejarah teori ini, Darwinisme adalah tulang punggung filsafat
materialistis dan ateisme. Pencarian titik temu tidak akan pernah dapat
mengubah fakta ini.
16
MENGAPA ANGGAPAN “DI MASA
DEPAN KEBENARAN TEORI EVOLUSI AKAN TERBUKI” ADALAH SALAH?
Ketika mereka sudah
tersudut, ada di antara para pendukung teori evolusi yang mengandalkan kata-kata:
“Bahkan kalau pun penemuan ilmiah masa kini tidak menegaskan kebenaran evolusi,
teori ini akan terbukti dengan perkembangan ilmu yang terjadi di masa yang akan
datang.”
Ini adalah titik awal pengakuan kekalahan
kaum evolusionis di arena ilmiah. Bila kita membaca yang tersirat, maka kita
akan mendapatkan: “Ya, kami, para
pendukung evolusi, mengakui bahwa berbagai penemuan di bidang ilmiah tidak
mendukung teori kami. Oleh sebab itulah, tidak ada alternatif lain bagi kami
selain menunda perihal ini ke masa depan.”
Akan tetapi, ilmu pengetahuan tidak bekerja dengan cara
berpikir seperti demikian. Seorang ilmuwan seharusnya tidak lebih dahulu
meyakini sebuah teori secara buta, sambil berharap, suatu saat nanti, bukti
atas kebenaran teori itu akan muncul. Ilmu pengetahuan memeriksa semua bukti
yang ada, lalu menyimpulkannya. Karena itu, para ilmuwan seharusnya menerima
adanya fakta “rancangan”, atau dengan kata lain fakta penciptaan, yang telah
dibuktikan secara ilmiah.
Akan tetapi, propaganda dan bujukan evolusionis masih mampu
mempengaruhi orang, terutama yang tidak begitu paham tentang teori ini. Oleh
sebab itu, ada baiknya bila ketiga pertanyaan berikut ini dijawab secara
lengkap dan jelas:
Kita dapat menguji
keabsahan teori evolusi dengan tiga pertanyaan dasar:
1.
Bagaimana sel hidup pertama muncul?
2.
Bagaimana satu spesies dapat berubah menjadi
spesies lain?
3.
Adakah bukti dalam catatan fosil bahwa makhluk
hidup memang melalui proses seperti itu?
Sejumlah besar penelitian selama abad ke-20, telah
dilakukan untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas - pertanyaan yang harus
dijawab oleh teori evolusi. Akan tetapi, penelitianpenelitian tersebut
menghasilkan kesimpulan bahwa teori evolusi tidak dapat menjelaskan tentang
kehidupan. Ini terlihat jelas dalam pembahasan yang lebih mendalam dari ketiga
pertanyaan di atas:
1. Pertanyaan tentang munculnya “sel pertama” adalah
persoalan sulit yang paling mematikan
bagi pendukung teori evolusi. Hasil
berbagai penelitian yang berkenaan dengan hal ini menunjukkan bahwa kemunculan
sel pertama tidak dapat dijelaskan oleh konsep “kebetulan”. Fred
Hoyle menyatakan hal itu
sebagai berikut:
Peluang munculnya makhluk hidup dengan cara ini adalah
sebanding dengan peluang angin tornado yang menyapu lahan penimbunan
barang-barang bekas dan kemudian merakit sebuah pesawat Boeing 747 dari
bahan-bahan yang ada di dalamnya. 63
Berikut ini adalah sebuah contoh untuk melihat kontradiksi
pada kaum evolusionis. Ingatlah contoh terkenal dari William Paley, dan
bayangkanlah seseorang yang seumur hidupnya belum pernah melihat jam dinding.
Orang itu hidup di pulau terpencil, dan suatu hari menemukan sebuah jam
dinding. Bagi orang yang belum pernah melihat sebuah jam dinding dari jarak 100
meter, dia tidak bisa menentukan apa benda tersebut sebenarnya, dan mungkin
tidak bisa membedakannya dari fenomena alam lain yang disebabkan oleh angin,
pasir dan tanah. Namun ketika orang tersebut semakin dekat, hanya dengan
melihatnya, dia akan menyadari bahwa jam itu adalah hasil suatu rancangan.
Ketika lebih dekat lagi, dia tidak akan ragu sedikit pun. Tahap berikutnya,
mungkin dia memeriksa berbagai bagian dari jam tersebut, dan juga sentuhan seni
yang tampak jelas padanya. Ketika dia membuka tutup mesin jam dan
mencermatinya, dia akan melihat bahwa di dalam jam tersebut terdapat akumulasi
pengetahuan yang lebih besar, dibandingkan dengan apa yang terlihat dari luar.
Benda ini adalah hasil kecerdasan. Setiap langkah penelitian selanjutnya akan
menjadikan analisis ini semakin pasti.
Sebagaimana paparan di atas, kebenaran tentang makhluk
hidup muncul ke permukaan seiring dengan ilmu pengetahuan yang semakin maju.
Kemajuan ilmiah telah mengungkapkan kesempurnaan makhluk hidup, baik di tingkat
sistem, organ, jaringan, sel, maupun di tingkat molekul. Dengan semakin
mendalamnya pengetahuan kita tentang semua hal tersebut, kita mampu melihat
dengan lebih jelas sisi yang menakjubkan dari rancangan-rancangan yang ada.
Evolusionis abad ke-19, yang beranggapan bahwa sel adalah suatu gumpalan mungil
karbon, berada pada situasi yang sama dengan orang yang melihat jam dinding
dari jarak 100 meter seperti dalam cerita di atas. Tapi di masa kini, sangatlah
sulit untuk menemukan satu pun ilmuwan yang tidak mengakui bahwa masing-masing
bagian dari sel adalah sebuah hasil karya dan seni serta rancangan yang sangat
hebat. Bahkan pada membran dari sebuah sel yang kecil, yang memiliki sifat
“penyaring selektif”, terdapat kecerdasan dan rancangan yang luar biasa.
Membran tersebut mengenali berbagai atom, protein, dan molekul yang berada di
sekelilingnya, seolah-olah memiliki pikirannya sendiri. Membran hanya akan
membiarkan partikel-partikel yang dibutuhkan masuk ke dalam sel. (Untuk lebih
jauh lagi, bacalah karya Harun Yahya, Consciousness
in the Cell). Tidak seperti jam dinding tadi (yang kecerdasan rancangannya
masih terbatas), organisme hidup adalah bukti kecerdasan dan rancangan yang
menakjubkan. Penelitian-penelitian atas struktur makhluk hidup yang semakin
mendalam dan luas ini, yang sejauh ini baru saja mengungkapkan sebagian kecil
dari rancangbangun dan fungsinya, bukanlah membuktikan evolusi, melainkan
memungkinkan kita untuk memahami kebenaran penciptaan dengan lebih baik.
2. Kaum evolusionis berpendapat, bahwa satu spesies dapat
berubah menjadi spesies lain, melalui mutasi dan seleksi alam. Seluruh
penelitian yang telah dilakukan dan berkaitan dengan masalah ini, menunjukkan
bahwa kedua mekanisme tidak memiliki pengaruh evolusioner yang demikian. Colin
Patterson, seorang ahli paleontologi senior Museum Natural History di London, menekankan fakta ini sebagai berikut :
Tak ada yang pernah
menghasilkan satu spesies melalui mekanisme seleksi alam. Tidak seorang pun
hampir pernah menghasilkannya, dan kebanyakan debat neo-Darwinisme sekarang
adalah seputar masalah ini.64
Penelitian tentang mutasi menunjukkan bahwa proses tersebut
tidak bersifat evolusioner. Ahli genetika dari Amerika, B. G. Ranganathan,
berkata:
Pertama, mutasi sejati amat jarang terjadi di alam ini.
Kedua, kebanyakan mutasi adalah berbahaya, karena perubahan struktur gen
terjadi secara acak, bukan teratur. Perubahan acak apa pun pada sistem dengan
tingkat keteraturan tinggi akan merusak, bukan memperbaiki. Contohnya, bila
gempa bumi mengguncangkan sebuah struktur yang teratur, misalnya sebuah gedung,
akan terjadi perubahan acak dalam kerangka bangunan tersebut yang, dalam segala
kemungkinan, tidak akan memunculkan perbaikan.65
Seperti yang telah kita saksikan, apa yang disebutkan dalam
teori evolusi sebagai mekanisme pembentuk spesies baru, sebenarnya sama sekali
tidak berdampak dan justru merusak. Sekarang, kita memahami bahwa kedua
mekanisme ini – yang diajukan di saat ilmu dan teknologi belum mencapai tingkat
yang cukup tinggi untuk membuktikan ketidakabsahan pendapat yang hanya
merupakan khayal ini – tidak memiliki pengaruh perkembangan maupun evolusi.
3. Fosil juga menunjukkan bahwa makhluk hidup tidaklah
muncul sebagai akibat proses evolusi. Makhluk hidup muncul secara tiba-tiba,
sebagai hasil “rancangan” yang sempurna. Semua fosil yang telah ditemukan
menegaskan hal ini. Niles Eldredge, ahli paleontologi dari Universitas Harvard
dan pengawas di American Museum of
Natural History menjelaskan bahwa tak mungkin fosil yang dapat ditemukan di
masa depan akan dapat mengubah keadaan ini:
Catatan fosil meloncat-loncat, dan semua bukti yang ada
menunjukkan bahwa catatan itu benar adanya: celah-celah yang kita lihat
menunjukkan kejadian sebenarnya dalam sejarah makhluk hidup – bukan artefak
catatan fosil yang tidak lengkap. 66
Robert Wesson, seorang pakar asal Amerika lain, menyatakan
dalam bukunya Beyond
Natural Selection di tahun 1991, bahwa “celah-celah dalam catatan
fosil adalah nyata dan luar biasa”. Ia menjelaskan pernyataannya sebagai
berikut:
Celah-celah dalam catatan fosil itu memang sungguhan.
Ketiadaan catatan akan percabangan yang penting sungguh luar biasa.
Spesies-spesies biasanya terdapat dalam keadaan tetap, atau nyaris tetap, untuk
jangka waktu yang lama; jarang terlihat adanya evolusi suatu spesies menjadi
spesies yang baru, atau tidak pernah terlihat adanya evolusi suatu genus
menjadi genus yang baru.
Yang ada adalah pergantian satu oleh yang lain, dan
perubahan bisa dikatakan berlangsung mendadak. 67
Kesimpulannya, setelah sekitar 150 tahun berlalu sejak
pertama kalinya teori evolusi diusulkan, sejak itu pula penemuan-penemuan di
bidang ilmiah selalu menunjukkan bukti-bukti yang menentangnya. Semakin
diteliti, semakin banyak bukti yang menunjukkan penciptaan yang sempurna, dan
kian dipahami bahwa kemunculan makhluk hidup dan variasinya akibat faktor
kebetulan adalah mustahil. Setiap penelitian mengungkapkan bukti baru akan
adanya rancangan pada makhluk hidup, sehingga fakta penciptaan semakin jelas.
Sejak masa Darwin, setiap dasawarsa yang berlalu kian mengungkapkan
ketidakabsahan teori evolusi.
Singkatnya, kemajuan ilmiah tidak mendukung teori evolusi.
Oleh sebab itu, perkembangan di masa depan juga tak akan mendukung, malah akan
semakin memperjelas ketidakabsahan teori ini.
Tidak benar apabila dikatakan bahwa evolusi adalah sesuatu
yang belum bisa dijawab atau diterangkan oleh ilmu pengetahuan. Juga tidak
benar bahwa evolusi bisa dibuktikan di masa yang akan datang. Ilmu pengetahuan
modern telah menyangkal teori evolusi di segala bidang, dan menunjukkan bahwa
dari sudut pandang mana pun, proses evolusi mustahil terjadi. Adanya upaya
untuk mempertahankan kepercayaan ini dengan mengatakan bahwa evolusi akan
dibuktikan di masa depan, merupakan hasil dari pola pikir khayal dan mimpi kaum
Marxist dan lingkungan materialis yang melihat evolusi sebagai penyokong
ideologi mereka. Mereka, dengan demikian, hanyalah mencoba menghibur diri dari
rasa putus asa.
Karena itu, gagasan
bahwa “evolusi akan terbukti di masa depan” tak berbeda dengan berkata “di masa
depan akan terbukti bahwa Bumi terletak di punggung seekor gajah”.
17
MENGAPA
PERISTIWA METAMORFOSIS BUKANLAH BUKTI KEBENARAN TEORI EVOLUSI?
Beberapa jenis hewan mengalami perubahan fisik agar dapat
bertahan dan beradaptasi dengan kondisi alam yang berubah-ubah. Proses ini
dikenal sebagai metamorfosis. Mereka yang tak begitu memahami biologi, serta
mereka yang mendukung teori evolusi, kadang-kadang mencoba menggambarkan proses
itu sebagai bukti evolusi. Sumber-sumber yang menyatakan metamorfosis sebagai
“contoh evolusi” adalah omong kosong. Hal ini merupakan hasil propaganda
dangkal dan sempit, yang bertujuan menyesatkan mereka yang kurang paham tentang
perihal ini, pendukung evolusi yang masih baru, serta guru-guru biologi
Darwinis yang tidak benar-benar tahu masalahnya. Para ilmuwan yang dianggap
ahli dalam bidang evolusi, dan memahami kebuntuan dan pertentangan dalam teori
ini, seringkali bersikap segan bila harus mengungkapkan pernyataan yang
menggelikan ini. Sebab, mereka tahu betapa pendapat tersebut tidak masuk akal …
Kupu-kupu, lalat dan lebah adalah beberapa contoh hewan
yang dikenal mengalami proses metamorfosis. Katak, yang mula-mula hidup di air
lalu pindah ke darat, merupakan contoh yang lain. Hal ini tak ada kaitannya
dengan evolusi, karena teori evolusi berusaha menjelaskan proses munculnya
keberagaman di antara makhluk hidup melalui peristiwa mutasi yang terjadi
secara tidak disengaja. Akan tetapi, metamorfosis tidak memiliki kesamaan apa
pun dengan pernyataan tersebut. Metamorfosis merupakan proses yang sudah
direncanakan, dan tidak ada kaitannya dengan mutasi ataupun faktor kebetulan.
Metamorfosis tidaklah disebabkan oleh kebetulan. Penyebab proses ini adalah
data genetis yang sudah menjadi bagian terpadu makhluk tersebut sejak lahir.
Misalnya, katak memiliki informasi genetis yang memungkinkannya hidup di darat
serta di bawah permukaan air. Bahkan saat masih berbentuk larva, seekor nyamuk
memiliki informasi genetis tentang bentuk pupa dan dewasa. Hal serupa juga
terdapat pada semua hewan yang mengalami metamorfosis.
Metamorfosis adalah bukti penciptaan
Penelitian ilmiah terakhir tentang metamorfosis telah
menunjukkan bahwa peristiwa metamorfosis adalah proses rumit yang dikendalikan
oleh beberapa gen yang berlainan. Dalam metamorfosis katak, misalnya, proses
yang menyangkut ekor dikendalikan oleh lebih dari dua belas gen. Artinya,
proses pembentukan ekor terjadi berkat adanya kerja sama antara beberapa
bagian. Ini merupakan proses biologi yang menunjukkan ciri irreducible complexity, atau “kerumitan tak tersederhanakan”, yang
berarti metamorfosis adalah bukti akan adanya penciptaan.
Irreducible complexity adalah konsep dalam dunia ilmiah yang
diungkapkan oleh Profesor Michael Behe, ahli biokimia yang dikenal atas
penelitiannya yang membuktikan ketidakabsahan teori evolusi. Arti konsep ini
adalah organ dan sistem kompleks berfungsi sebagai hasil kerja sama berbagai
bagian penyusunnya, dan jika saja satu bagian terkecil tidak berfungsi, maka
seluruh sistem atau organ akan berhenti pula. Struktur yang rumit ini tidak
mungkin muncul secara kebetulan, berubah sedikit demi sedikit seperti yang
diungkapkan oleh teori evolusi. Yang terjadi dalam peristiwa metamorfosis
adalah irreducible complexity
(kerumitan tak tersederhanakan). Proses metamorfosis terjadi melalui
keseimbangan dan pewaktuan hormon yang sangat teliti, yang dipengaruhi oleh
beragam gen. Kesalahan terkecil sekali pun akan mengakibatkan kematian makhluk
hidup tersebut. Oleh sebab itu, tidak mungkin proses serumit ini dapat terjadi
secara kebetulan dan bertahap. Karena kesalahan sekecil apa pun akan
mengakibatkan kematian hewan tersebut, adalah mustahil menjelaskan peristiwa
ini dengan mekanisme “trial and error”
(cobacoba) atau seleksi alam, seperti pendapat evolusionis. Tidak ada satu pun
makhluk yang dapat bertahan berjuta-juta tahun, untuk menunggu bagian tubuh
yang diperlukannya muncul secara kebetulan.
Mengingat semua hal di atas, jelaslah bahwa metamorfosis
tidak membuktikan kebenaran teori evolusi, seperti yang diasumsikan oleh
sebagian orang yang kurang paham tentang metamorfosis. Sebaliknya, apabila kita
renungkan betapa rumitnya proses dan sistem pengendali metamorfosis,
hewan-hewan yang mengalami metamorfosis adalah bukti yang jelas akan fakta
penciptaan.
18
MENGAPA DNA
TIDAK MUNGKIN DIJELASKAN SEBAGAI SEBUAH “KEBETULAN”?
Dengan tingkat ilmu pengetahuan yang telah dicapai kini,
kita menyaksikan bahwa berbagai rancangan dan sistem kompleks yang jelas
terdapat dalam makhluk hidup tidak mungkin muncul secara kebetulan. Sebagai
contohnya, berkat pencapaian Proyek Genom Manusia (Human Genome Project) belakangan ini, kita dapat melihat rancangan
yang menakjubkan serta kandungan informasi yang sangat banyak yang terdapat di
dalam gen manusia.
Dalam kerangka proyek tersebut, ilmuwan dari berbagai
negara - dari Amerika serikat sampai Cina - telah 10 tahun bekerja untuk
memecahkan 3 miliar kode kimia yang terdapat di dalam DNA. Sebagai hasilnya,
kini hampir semua informasi dalam gen manusia telah disusun secara berurut.
Walaupun kemajuan yang telah dicapai sangatlah
menggairahkan dan merupakan perkembangan yang penting, seperti Dr. Fancis
Collins, pimpinan Proyek Genome Manusia katakan, bahwa ini hanyalah langkah
pertama dalam memecahkan kode informasi yang terkandung di dalam DNA.
Guna memahami mengapa diperlukan waktu 10 tahun dan ratusan
ilmuwan untuk menyingkapkan kode-kode pembentuk informasi ini, kita harus lebih
dahulu memahami besarnya informasi yang terkandung dalam DNA.
DNA menyingkapkan adanya sumber pengetahuan yang tak
terhingga
DNA dari satu sel manusia saja sudah berisi informasi yang
cukup untuk mengisi ensiklopedi yang terdiri dari sejuta halaman. Kita tidak
mungkin habis membacanya dalam seumur hidup. Jika seseorang mulai membaca satu
kode DNA per detik, tanpa henti, sepanjang hari, setiap hari, akan diperlukan
waktu 100 tahun. Sebab, ensiklopedia tersebut berisi hampir tiga miliar kode
yang berbeda-beda. Jika kita tulis semua informasi DNA pada kertas, maka
panjangnya akan membentang dari Garis Katulistiwa mencapai Kutub Utara. Ini
berarti sekitar 1000 jilid buku – lebih dari cukup untuk mengisi satu
perpustakaan yang besar.
Lebih dari itu, semua informasi ini terkandung dalam inti
setiap sel. Artinya, bila setiap individu terdiri dari sekitar 100 triliun buah
sel, maka akan terdapat 100 triliun versi dari perpustakaan yang sama.
Bila dibandingkan dengan jumlah informasi yang telah dicapai
pengetahuan manusia hingga saat ini, kita tidak mungkin memberikan contoh yang
setara besarnya. Sebuah gambaran yang sulit untuk dipercaya: 100 triliun x 1000
buku! Ini lebih banyak dibandingkan jumlah butir pasir di dunia. Lebih jauh
lagi, jika kita kalikan jumlah tersebut dengan enam miliar yang kini hidup di
Bumi, ditambah miliaran yang telah hidup sebelum kita, angka yang didapatkan
akan berada di luar jangkauan pemahaman kita. Jumlah informasi itu mencapai
ketakterhinggaan.
Beberapa contoh ini menunjukkan betapa dahsyatnya informasi
yang begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kini manusia memiliki
komputer canggih yang dapat menyimpan informasi dalam jumlah amat besar. Akan
tetapi, bila kita bandingkan DNA dengan komputer tersebut, kita akan takjub
menyaksikan bahwa teknologi paling mutakhir – hasil timbunan seluruh usaha dan
ilmu pengetahuan manusia berabad-abad – belum mencapai kapasitas penyimpanan
satu buah sel pun.
Gene Myers adalah salah satu pakar paling terkemuka di
Celera Genomics, yakni perusahaan pelaksana Proyek Genome Manusia. Perkataannya
sehubungan dengan hasil proyek tersebut merupakan sebuah pernyataan tentang
pengetahuan dan rancangan hebat yang terdapat dalam DNA: “Apa yang betul-betul menakjubkan saya adalah arsitektur kehidupan …
Sistem ini teramat kompleks. Seolah ini telah dirancang … Ada kecerdasan luar
biasa di sana.”68
Sisi menarik lainnya adalah semua makhluk hidup di planet
ini telah diciptakan menurut paparan kode yang ditulis dalam bahasa yang sama
ini. Tidak ada bakteri, tumbuhan ataupun hewan yang tercipta tanpa DNA.
Terlihat jelas bahwa seluruh kehidupan muncul sebagai hasil berbagai pemaparan
yang menggunakan satu bahasa, dan berasal dari sumber pengetahuan yang sama.
Hal ini membawa kita kepada satu kesimpulan yang jelas.
Semua kehidupan di bumi, hidup dan berkembang biak menurut informasi yang
diciptakan oleh satu kecerdasan tunggal.
Hal ini menjadikan teori evolusi sama sekali tak berarti.
Sebabnya adalah, dasar teori evolusi adalah “kebetulan”, sedangkan peristiwa
kebetulan tidak mampu menciptakan informasi. Jika suatu hari ditemukan sebuah
ramuan obat yang sanggup melawan kanker tertulis di sehelai kertas, umat
manusia akan bergabung untuk mencari tahu siapa ilmuwan yang terkait, serta
bahkan memberikan penghargaan kepadanya. Tak seorang pun akan berpikir,
“Jangan-jangan ramuan obat itu kebetulan tertulis akibat tumpahan tinta di
kertas itu.” Setiap orang yang berakal dan mampu berpikir jernih
akan beranggapan bahwa ramuan itu ditulis
oleh seseorang yang telah mengkaji ilmu-ilmu kimia, fisiologi manusia, kanker
dan farmakologi, secara mendalam.
Pernyataan evolusionis, bahwa informasi pada DNA timbul
secara kebetulan, sangatlah tidak masuk akal. Hal ini setara dengan mengatakan
bahwa ramuan obat pada kertas tersebut juga tertulis secara kebetulan. DNA
mengandung rumus molekul terperinci dari 100.000 jenis protein dan enzim,
sekaligus perintah yang cermat namun rumit tentang pengaturan penggunaan
zat-zat tersebut selama produksi. Disamping itu, juga terkandung rencana
produksi berbagai hormon pembawa-pesan serta tata-cara komunikasi antar-sel
tempat di mana zat-zat tersebut digunakan, serta segala jenis informasi lain
yang rumit dan tertentu.
Pernyataan yang mengatakan bahwa DNA – beserta semua
informasi di dalamnya – tercipta secara kebetulan, atau terjadi karena
sebab-sebab alamiah, adalah cermin ketidakpahaman atas permasalahan yang ada
atau keyakinan buta materialis. Gagasan yang mengatakan bahwa sebuah molekul
seperti DNA – beserta kandungan informasinya yang menakjubkan dan strukturnya
yang kompleks – dapat dihasilkan secara kebetulan, tidak pantas dianggap
serius. Tidaklah mengherankan, para evolusionis berusaha memberi penjelasan
dangkal perihal sumber kehidupan, seperti juga berbagai perihal lainnya, dengan
menjabarkannya sebagai “rahasia yang belum terpecahkan”.
19
MENGAPA KEKEBALAN BAKTERI TERHADAP
ANTIBIOTIK
BUKANLAH CONTOH PERISTIWA EVOLUSI?
Satu konsep biologi yang dicoba-sajikan sebagai bukti teori
evolusi oleh para evolusionis adalah kekebalan atau daya tahan bakteri terhadap
antibiotik. Banyak sumber evolusionis menyebutkan bahwa kekebalan terhadap
antibiotik adalah sebuah contoh perkembangan makhluk hidup melalui mutasi yang
menguntungkan. Hal serupa juga dikatakan tentang serangga yang menjadi kebal
terhadap insektisida seperti DDT.
Akan tetapi, kaum
evolusionis pun salah dalam hal ini.
Antibiotik adalah
“molekul pembunuh” yang dihasilkan mikroorganisme untuk melawan
mikroorganisme lain. Antibiotik pertama
adalah penisilin, yang ditemukan oleh Alexander Flemming pada 1928. Flemming
menyadari bahwa jamur (seringkali ditemukan seperti bubuk atau benang-benang di
permukaan bahan organik sudah lama – penerj.) menghasilkan molekul yang
mematikan bakteri Staphylococcus, dan
penemuan ini merupakan titik balik dalam dunia obatobatan. Antibiotik yang
diambil dari berbagai organisme digunakan untuk melawan bakteri, dan berhasil.
Tidak lama kemudian, hal baru ditemukan. Seiring dengan
waktu, bakteri mengembangkan kekebalan terhadap antibiotik. Mekanisme kerjanya
adalah sebagai berikut: sebagian besar bakteri yang diberi antibiotik akan
mati, tetapi sebagian lain yang tidak terpengaruh oleh antibiotik tersebut,
akan dengan cepat berkembang biak dan membentuk populasi yang sama dengan yang
sebelumnya.
Sehingga, seluruh populasi
menjadi kebal terhadap antibiotik.
Para evolusionis
menampilkan hal ini sebagai “evolusi bakteri dengan cara beradaptasi terhadap
lingkungan”.
Akan tetapi, kenyataan sebenarnya jauh berbeda dengan
penafsiran dangkal ini. Salah seorang ilmuwan yang telah melakukan penelitian
mendalam di bidang ini adalah ahli biofisika Israel bernama Lee Spetner, yang
juga dikenal dengan bukunya Not by Chance
yang terbit tahun 1997. Spetner menyatakan, kekebalan bakteri terjadi karena
dua mekanisme; namun tak satu pun dari keduanya merupakan bukti teori evolusi.
Kedua mekanisme ini adalah:
1. Perpindahan
(transfer) gen-gen kekebalan yang sudah ada pada bakteri.
2. Tumbuhnya
kekebalan sebagai akibat hilangnya data genetis karena mutasi.
Mekanisme yang pertama
dibahas Profesor Spetner dalam artikel yang terbit tahun 2001:
Sejumlah mikroorganisme dilengkapi dengan gen-gen yang
memberikan kekebalan terhadap antibiotik-antibiotik ini. Kekebalan ini dapat
berupa kemampuan merombak molekul antibiotik tersebut, atau mengeluarkannya
dari sel … [O]rganisma yang memiliki gen-gen ini dapat memindahkannya ke
bakteri lain, sehingga menjadikan bakteri tersebut kebal juga. Walaupun
mekanisme kekebalan tersebut bersifat khusus terhadap satu antibiotik tertentu,
kebanyakan bakteri patogen telah … berhasil mengumpulkan beberapa perangkat gen
yang memberikan bakteri-bakteri tersebut kekebalan terhadap beberapa jenis
antibiotik.69
Spetner lalu melanjutkan dan berkata bahwa hal ini bukanlah
“bukti yang mendukung evolusi”:
Perolehan kekebalan
terhadap antibiotik dengan cara ini… bukanlah sesuatu yang dapat menjadi contoh
dari mutasi yang diperlukan untuk menjelaskan peristiwa Evolusi… Perubahan
genetik yang dapat mendukung teori ini
semestinya tidak hanya menambahkan informasi pada genom bakteri. Perubahan
genetik ini harus pula menambahkan informasi baru pada biokosmos. Perpindahan
gen secara horisontal hanya menyebabkan penyebaran gen-gen yang sudah ada pada
sejumlah spesies.70
Jadi, kita tak dapat berbicara tentang evolusi apa pun di
sini, karena tidak ada informasi genetis baru dihasilkan: yang terjadi hanyalah
informasi genetis yang sudah ada sekedar dipindahkan di antara bakteri.
Jenis kekebalan yang kedua, yang tercipta sebagai hasil
mutasi, juga bukan contoh evolusi. Spetner menulis:
… [S]uatu
mikroorganisme kadang dapat memperoleh kekebalan terhadap suatu antibiotik
melalui penggantian acak sebuah nukleotida… Streptomisin, yang ditemukan Selman
Waksman dan
Albert Schatz, dan pertama kali dilaporkan
di tahun 1944, adalah antibiotik yang dapat menjadikan bakteri dapat memperoleh
kekebalan dengan cara itu. Tetapi, walaupun mutasi yang mereka alami dalam
proses ini bersifat menguntungkan bagi mikroorganisme yang diberi streptomisin,
mutasi tersebut tidak dapat menjadi contoh dari jenis mutasi yang diperlukan
untuk mendukung Teori NeoDarwinian (Neo
Darwinian Theory atau NDT). Jenis mutasi yang memunculkan kekebalan
terhadap streptomisin terjadi pada ribosom, dan menghilangkan kemampuan sel
untuk mengenali dan berikatan dengan molekul antibiotik.71
Dalam bukunya Not by
Chance, Spetner mengibaratkan situasi ini dengan gangguan pada hubungan
antara kunci dan lubangnya. Streptomisin, ibarat kunci yang cocok dengan
lubangnya, mencengkeram ribosom suatu bakteri dan menjadikannya tidak aktif.
Mutasi menyebabkan hal sebaliknya, menguraikan ribosom, sehingga streptomisin
tidak dapat menyerang ribosom. Walaupun ini ditafsirkan sebagai “pembentukan
kekebalan bakteri terhadap streptomisin”, bakteri
tidaklah diuntungkan,
malah sebaliknya. Spetner menulis:
Perubahan ini, yang terjadi pada permukaan ribosom
mikroorganisme, mencegah molekul streptomisin untuk menempel dan melaksanakan
fungsi antibiotiknya. Ternyata, terurainya ribosom adalah berupa hilangnya
struktur khusus, dan ini berarti hilangnya informasi. Intinya adalah, Evolusi…
tidak dapat dicapai dengan mutasi jenis ini, tak menjadi soal betapa pun
banyaknya.
Evolusi tidak dapat terjadi melalui
timbunan peristiwa mutasi yang hanya merombak struktur khusus.72
Singkatnya, sebuah mutasi yang terjadi pada ribosom bakteri
telah menjadikan bakteri tersebut kebal terhadap streptomisin. Alasannya adalah
“rusak atau hilangnya bagian” ribosom akibat mutasi. Jadi, tidak ada informasi
genetis baru yang ditambahkan. Sebaliknya, struktur ribosom terurai, yang
berarti, bakteri menjadi “cacat”. (Juga, telah ditemukan bahwa ribosom pada
bakteri yang telah mengalami mutasi tidak berfungsi penuh seperti ribosom pada
bakteri yang normal.) Karena “cacat” ini mencegah menempelnya antibiotik pada
ribosom, maka terjadilah “kekebalan terhadap antibiotik”.
Akhirnya, tidak terdapat contoh mutasi yang “mengembangkan
informasi genetis”. Para
evolusionis, yang ingin menyajikan
kekebalan terhadap antibiotik sebagai bukti evolusi, telah menangani masalah
ini dengan tidak sungguh-sungguh, sehingga mereka salah.
Sama halnya dengan terjadinya kekebalan serangga terhadap DDT
dan insektisida sejenis.
Pada umumnya, gen-gen
kekebalan yang sudah ada, digunakan. Ahli biologi evolusioner, Francisco Ayala
mengakui fakta ini, dan berkata: “Varian
genetis yang dibutuhkan untuk terjadinya kekebalan terhadap jenis pestisida
yang paling bervariasi sekali pun, tampaknya sudah ada dalam setiap populasi
yang terkena senyawa-senyawa buatan manusia ini.”73 Contoh lain
yang dijelaskan dengan mutasi, seperti halnya mutasi ribosom yang telah
diceritakan di atas, adalah fenomena yang menyebabkan “berkurangnya informasi
genetis” pada serangga.
Dalam kasus ini, mekanisme kekebalan pada bakteri dan
serangga tidak bisa dinyatakan sebagai bukti kebenaran teori evolusi. Hal ini
berlaku karena teori evolusi menegaskan bahwa makhluk hidup berkembang melalui
mutasi. Namun, Spetner menjelaskan bahwa kekebalan antibiotik maupun fenomena
biologis lainnya bukanlah isyarat adanya mutasi semacam itu:
Mutasi-mutasi yang diperlukan bagi terjadinya makro-evolusi
belum pernah teramati. Tidak ada mutasi acak – yang dapat menjadi bukti mutasi
yang dibutuhkan Teori Neo-Darwinis – pada tingkat molekuler, yang telah
menambahkan sedikit pun informasi. Pertanyaan yang saya ajukan adalah: Apakah
mutasi yang telah diamati merupakan jenis yang diperlukan untuk mendukung teori
ini? Ternyata jawabnya adalah TIDAK! 74
20
HUBUNGAN
APAKAH YANG TERDAPAT ANTARA PENCIPTAAN DAN ILMU PENGETAHUAN?
Seperti telah ditunjukkan dalam semua pertanyaan yang telah
kami paparkan sejauh ini, teori evolusi benar-benar bertentangan dengan
berbagai penemuan ilmiah. Teori ini, yang lahir pada saat tingkat ilmu
pengetahuan masih terbelakang di abad ke-19, telah digugurkan oleh berbagai
penemuan ilmiah secara berturut-turut.
Kaum evolusionis, yang secara membabi-buta mendukung teori
tersebut, mencari jalan keluar dengan ungkapan dusta, karena tidak ada lagi
dasar ilmiah yang tersisa. Yang paling sering dilakukan adalah penggunaan
ucapan yang seringkali dilontarkan “penciptaan adalah keyakinan atau iman, jadi
bukan bagian dari ilmu pengetahuan”. Selanjutnya, pernyataan ini menegaskan
bahwa evolusi adalah teori ilmiah, sedangkan penciptaan hanyalah sebuah
keyakinan. Namun, pengulangan ucapan “evolusi adalah ilmiah, sedangkan penciptaan
adalah keyakinan” sebenarnya
berasal dari sudut pandang yang salah.
Mereka yang terus mengulanginya adalah orang-orang yang mengacaukan ilmu
pengetahuan dengan filsafat materialis. Mereka yakin bahwa ilmu pengetahuan
harus tetap berada dalam batas-batas materialisme, dan mereka yang tidak
materialis tidak berhak membuat pernyataan apa pun. Namun, ilmu pengetahuan itu
sendiri menolak materialisme.
Mengkaji materi tidak sama dengan menjadi seorang
materialis
Marilah, secara singkat, kita tentukan arti materialisme
agar masalah ini dapat kita pelajari dengan lebih rinci. Materialisme adalah
filsafat yang sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Dasar filsafat ini adalah
gagasan yang menyatakan bahwa yang ada hanyalah materi. Berdasarkan filsafat
materialis, materi sudah ada sejak awal, dan akan selalu ada untuk selamanya.
Tidak ada sesuatu apa pun selain materi. Namun, pernyataan ini tidaklah ilmiah,
karena tidak bisa diuji dalam percobaan dan pengamatan. Ini hanyalah suatu
keyakinan, suatu dogma.
Akan tetapi, dogma ini berbaur dengan ilmu pengetahuan di
abad ke-19, bahkan menjadi landasan berpijak bagi ilmu pengetahuan. Walaupun
begitu, ilmu pengetahuan tidak harus menerima materialisme. Ilmu pengetahuan
mengkaji alam dan jagat raya, dan hasil kajian tersebut tidaklah dibatasi oleh
penggolongan filsafat apa pun.
Menghadapi hal ini, beberapa orang materialis sering
membela diri dengan sekedar permainan kata. Mereka berkata, “Materi adalah
satu-satunya bahan kajian ilmu pengetahuan, karena itu, ilmu pengetahuan haruslah
bersifat materialis.” Ya, ilmu pengetahuan hanya mengkaji materi, tetapi
“mengkaji materi” adalah hal yang sangat berbeda dengan “menjadi seorang
materialis”. Sebabnya adalah, saat kita mengkaji materi, kita sadar bahwa
materi mengandung pengetahuan dan rancangan yang begitu dahsyat, sehingga
mustahil dihasilkan oleh materi itu sendiri. Kita paham bahwa pengetahuan dan
rancangan tersebut adalah hasil karya sebuah kecerdasan, walaupun kita tidak
bisa melihatnya secara langsung.
Sebagai contoh, bayangkanlah sebuah gua. Kita tidak tahu
apakah gua itu pernah dimasuki orang atau belum. Jika, saat kita memasuki gua
itu, yang ditemukan hanyalah tanah, debu dan batu, dapat kita simpulkan bahwa
di sana tak ada apa-apa selain materi yang tersebar secara acak. Namun, apabila
di dinding gua terdapat lukisan-lukisan yang bagus dengan warna-warni
mengagumkan, dapat kita duga bahwa ada makhluk cerdas yang pernah masuk di gua
itu sebelum kita. Mungkin kita tidak dapat langsung melihat makhluk itu, tetapi
keberadaannya dapat kita simpulkan dari apa yang dihasilkannya.
Ilmu pengetahuan menentang materialisme
Ilmu pengetahuan mengkaji alam ini dengan cara yang sama
seperti dijelaskan dalam contoh di atas. Jika semua rancangan di alam ini dapat
dijelaskan dengan penyebab-penyebab yang bersifat materi semata, maka ilmu
pengetahuan memperkuat materialisme. Namun, ilmu pengetahuan modern telah
mengungkapkan bahwa di alam ini terdapat suatu rancangan yang tak bisa
dijelaskan dengan penyebab bersifat materi, dan bahwa segenap materi mengandung
suatu rancangan yang diciptakan oleh Sang Pencipta.
Contohnya, semua percobaan dan pengamatan membuktikan bahwa
materi itu sendiri tidak dapat menghasilkan kehidupan. Karena itu, makhluk
hidup pastilah hasil dari sebuah penciptaan metafisik. Semua percobaan
evolusionis ke arah ini berakhir dengan kegagalan. Kehidupan tidak mungkin
diciptakan dari materi tak-hidup. Ahli biologi evolusionis Andrew Scott membuat
pengakuan berikut mengenai masalah tersebut dalam jurnal terkenal New Scientist:
Ambillah sejumlah materi, panaskan sambil diaduk, dan
tunggulah. Itulah Genesis versi modern. Gaya-gaya “dasar”, yakni gravitasi,
elektromagnetisme, serta gaya ikat inti atom yang kuat dan lemah dianggap
sebagai gaya yang menyempurnakan proses tersebut… Tetapi, seberapa jauhkah
kisah yang disusun sangat baik ini telah benar-benar terbukti, dan seberapa
besarkah yang masih berupa dugaan yang penuh harap? Sebenarnya, mekanisme dari
hampir seluruh tahapan utama, dari zat-zat kimiawi pembentuk, hingga sel-sel yang
paling awal diketahui, masih menjadi bahan persengketaan, atau, kalau tidak,
pastilah merupakan kebingungan yang menyeluruh. 75
Akar kehidupan didasarkan pada dugaan dan perdebatan karena
dogma materialis bersikeras menyatakan bahwa kehidupan merupakan hasil dari
materi. Akan tetapi, fakta-fakta ilmiah menunjukkan bahwa materi tidak memiliki
kekuatan seperti itu. Profesor Fred Hoyle, ahli matematika dan astronomi yang
dianugerahi gelar kebangsawanan untuk sumbangsihnya bagi ilmu pengetahuan,
memberi ulasan berikut tentang hal ini:
Jika
terdapat sifat mendasar materi yang melalui suatu cara dapat mendorong sistem
organik mengarah pada terbentuknya kehidupan, maka keberadaannya haruslah dapat
diperlihatkan di laboratorium. Misalnya, seseorang bisa saja menggunakan
bak kolam renang sebagai ganti “ramuan sop purba”. Isilah bak itu dengan
zat-zat kimia non-biologis mana pun yang
Anda sukai. Pompakan gas ke atasnya, atau
ke dalamnya, sesuka Anda, dan sinarilah dengan radiasi jenis apa pun yang Anda
kehendaki. Biarkan percobaan ini berlangsung selama setahun, dan lihatlah ada
berapa dari 2000 tersebut (protein yang dibuat dan dihasilkan sel hidup) yang
muncul dalam bak ramuan itu. Saya akan memberi jawabannya, dan ini akan
menghemat waktu, tenaga dan biaya melakukan percobaan secara sungguhan. Anda
tak akan mendapatkan apa pun, selain (mungkin) endapan berlendir terapung yang
terdiri atas asam-asam amino serta zat-zat kimia organik sederhana lainnya.76
Sebenarnya, materialisme sedang menghadapi kesulitan yang
lebih buruk. Materi tak bisa membentuk kehidupan, walaupun diberi waktu serta
digabungkan dengan pengetahuan manusia – apalagi tanpa faktor-faktor tersebut.
Kebenaran, yang baru saja kita tinjau sekilas adalah
kebenaran bahwa materi itu sendiri tidak dapat merancang dan tidak
berpengetahuan. Namun, jagat raya dan makhluk hidup di dalamnya mengandung
rancangan dan pengetahuan yang luar biasa kompleks. Ini menunjukkan bahwa
rancangan dan pengetahuan dalam jagat raya serta makhluk hidup adalah karya
Pencipta yang memiliki kekuasaan serta pengetahuan yang tak terhingga –
Pencipta yang telah ada sebelum materi itu sendiri ada, serta menguasai dan
mengendalikannya.
Jika kita teliti dengan cermat, inilah kesimpulan yang
ilmiah sepenuhnya. Ini bukanlah “keyakinan”, melainkan kebenaran yang diperoleh
sebagai hasil pengamatan akan jagat raya dan makhluk hidup yang menghuninya.
Karena itulah, pendapat evolusionis “Evolusi adalah ilmiah, sedangkan
penciptaan adalah keyakinan di luar wilayah ilmu pengetahuan” merupakan tipuan
yang dangkal. Memang, pada abad ke-19, materialisme dikacaukan dengan ilmu
pengetahuan, dan ilmu pengetahuan terbawa ke luar jalur oleh dogma materialis.
Namun, perkembangan selanjutnya, di abad ke-20 dan ke-21, telah sepenuhnya
menggugurkan keyakinan kuno itu. Dan, kebenaran penciptaan, yang tadinya
terhalang materialisme, kini pun tampak. Seperti jelas dinyatakan majalah
terkenal Newsweek, dalam edisi 27 Juli 1998-nya yang bersejarah, dengan berita
utama yang berjudul Science Finds God
(Ilmu Pengetahuan Menemukan Tuhan) – di balik penipuan materialis, ilmu
pengetahuan menemukan Tuhan, Pencipta alam semesta dengan segala sesuatu yang
ada di dalamnya.
Jangan lupa share ilmunya gan.....
0 komentar:
Posting Komentar